Sabtu, 3 Desember 2022

Sawit Itu Ramah Lingkungan dan Iklim

Sawit Itu Ramah Lingkungan dan Iklim

Foto: Dok. Fitri Nursanti
Ki-ka: Moderator, Musdhalifah Machmud, Herry Purnomo, dan Hasril Hasan Siregar

BOGOR (AGRINA-ONLINE.COM) Penerapan kaidah berkelanjutan jadi kunci sukses masa depan industri sawit nasional.
 
 
Peranan industri kelapa sawit sangat penting dalam perekonomian nasional. Devisa sawit menjaga neraca perdagangan Indonesia terus surplus selama 32 bulan berturut-turut sejak Mei 2020. Contoh, dari perolehan devisa 2021 yang senilai US$35 miliar, US$32,8 miliar di antaranya berasal dari ekspor produk sawit (kode HS 15) dengan tonase 34,2 juta ton.
 
 
Kendati kontribusinya sangat besar, bahkan kita menggunakan produk sawit selama 24 jam, industri ini masih banyak menghadapi tantangan dari dalam dan luar negeri. Sawit acapkali dianggap merusak hutan dan lingkungan juga mengandung asam lemak jenuh yang berbahaya. Karena itu segenap pemangku kepentingan sawit perlu melakukan sosialisasi yang lebih masif tentang sawit kepada masyarakat umum.
 
 
Sosialisasikan Sawit Baik
 
Musdhalifah Machmud, Deputi Bidang Koordinasi Pangan dan Agribisnis, Kemenko Perekonomian memanfaatkan acara Reuni Akbar 40 Tahun ANDIKA(ANgkatan berdeDIkasi dengan teKat persAtuan) untuk membuka wawasan alumni IPB University Angkatan 19 (1982) tentang sawit. Reuni tersebut digelar pada 3 Desember 2022 di Klub Bogor Raya, Bogor.
 
 
“Kelapa sawit itu milik kita semua. Selama ini sawit belum sepenuhnya memasyarakat sehingga saya pikir kita harus masuk ke semua segmen. Di acara ini ada 400 orang kumpul dalam satu ruangan dari berbagai macam bidang, dari berbagai macam profesi, dan mereka adalah orang-orang yang concern dengan agribisnis dan sawit adalah salah satu komoditas yang andal. Jadi, mereka harus paham sebenarnya posisi sawit itu apa karena mereka dapat info dari macam-macam sumber yang tidak semua berpandangan positif,” ujar alumnus Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan IPB tersebut.
 
 
Doktor Manajemen Bisnis IPB itu menambahkan, informasi yang mereka terima tidak utuh. Bisa jadi mereka belum tahu, sekitar 41% dari luas kebun sawit nasional adalah milik rakyat, bukan lagi konglomerat.  “Kita ungkit sedikit saja, mereka langsung bangkit. Orang-orang seperti ini punya potensi untuk menyebarluaskan ‘sawit baik’ karena mereka sudah paham agribisnisnya,” jelas Musdhalifah.
 
 
Menurutnya, saat ini aspek keberlanjutan (sustainability) semakin menjadi tuntutan pasar global sehingga perlu diupayakan melalui berbagai program. Pelaku usaha wajib mengikuti sertifikasi keberlanjutan nasional yang disebut Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO). Secara definisi, sawit berkelanjutan merupakan sistem usaha di bidang perkebunan kelapa sawit yang layak ekonomi, layak sosial, dan ramah lingkungan berdasarkan peraturan perundangan yang berlaku di Indonesia.
 
 
 
Harus Ramah Lingkungan
 
 
Dalam acara bincang-bincang yang sama, tampil pula Guru Besar Fakultas Kehutanan IPB Prof. Dr. Herry Purnomo, M.Comp. dan Dr. Ir. Hasil Hasan Siregar, M.Si., Peneliti di Pusat Penelitian Kelapa Sawit Medan.
 
 
Herry berpandangan, sawit yang ramah lingkungan itu merupakan keharusan pada masa depan.  “Produk ramah lingkungan dan ramah iklim tidak hanya tren pasar di negara-negara maju tetapi juga merupakan pesan konstitusi UUD 1945 Pasal 33 ayat 4,” cetus alumnus S1 Agrometeorologi Fakultas MIPA IPB ini.
 
 
Sawit Indonesia, lanjut dia, sudah mencapai kemajuan besar dalam isu lingkungan belakangan ini walaupun belum semuanya teratasi.  Dari 16,2 juta ha, masih ada 3,2 juta ha terletak di kawasan hutan yang secara hukum disebut ilegal. Sekitar 2,5 juta ha masih terletak di lahan gambut yang sebagian dilarang oleh aturan yang berlaku.  Selain itu, ada 300 juta ton emisi CO2 ekuivalen per tahun dari rantai pasok minyak sawit Indonesia.
 
 
“Jadi masih banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan dengan kesungguhan dan kejujuran. Saya yakin, ketika semua pekerjaan rumah tersebut bisa diselesaikan dengan baik maka minyak sawit Indonesia tidak hanya berkualitas dan murah tetapi juga menjadi contoh bagi produk yang ramah lingkungan di dunia.  Saya yakin ramah lingkungan dan keberlanjutan dapat menjadi keunggulan (sustainability advantage) minyak sawit di dunia global,” ulas lulusan S2 Ilmu Komputer Universitas Maryland, Amerika Serikat dan S3 Ilmu Kehutanan IPB tersebut.  
 
 
Senada dengan Herry, Hasril pun berpendapat, kelapa sawit Indonesia secara historis sebenarnya sudah berkelanjutan. Sejak introduksinya pada 1848 atau 174 tahun lalu, perkebunan sawit berkembang secara komersial mulai 1911. “Riset dengan inovasi bibit unggul dimulai sejak 1916 hingga saat ini berkembang dengan baik menjadikan Indonesia sebagai produsen sawit terbesar di dunia,” ungkap Hasril yang menyelesaikan jenjang pendidikan S1 hingga S3-nya di Fakultas MIPA dan Fakultas Pertanian IPB University ini.
 
 
Spesialis Agroklimat dan Pencemaran Lingkungan ini menjabarkan, kelapa sawit yang berkelanjutan secara teknis haruslah didukung dari hulu hingga hilir dengan praktik-praktik pertanian dan pengolahan terbaik dan inovatif sehingga produktif dan bersaing dari masa ke masa.
 
 
“Praktik pertanian terbaik meliputi penggunaan bibit unggul, kultur teknis terbaik, serta panen tandan sawit yang juga baik serta pengolahan minyak sawit hingga turunannya dengan metode terbaik juga. Untuk unggul dan terbaik secara berkelanjutan juga harus di-support oleh teknologi yang inovatif sesuai perkembangannya dari masa ke masa,” tuntasnya.
 
Peni Sari Palupi

 
Agrina Update + Moment Update + Cetak Update +

Artikel Lain