Foto: Kementerian Kelautan dan Perikanan
Permintaan udang tetap meningkat selama pandemi Covid-19
Produk udang bernilai tambah diminati pasar domestik dan mancanegara.
Selain sebagai sumber protein, udang juga kaya akan zat gizi seperti selenium, zinc, vitamin B12 dan lemak omega-3. Tidak mengherankan bila permintaannya terus meningkat selama pandemi Covid-19 karena masyarakat membutuhkan suplai produk makanan bergizi. Bahkan yang menarik, permintaan produk olahan, terutama udang ready to cook dan ready to eat meningkat pesat.
Konsumsi
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat rata-rata konsumsi ikan dan udang segar di Indonesia tahun 2021 mencapai 0,353 kg/kapita/minggu. Angka tersebut naik 6% dibandingkan tahun sebelumnya. Padahal, awal pandemi rata-rata konsumsi ikan dan udang segar nasional sempat menurun 0.89% dari tahun sebelumnya. Angka konsumsi ikan dan udang yang diawetkan lebih besar ketimbang produk segar. Pada 2021 konsumsi ikan dan udang yang diawetkan sebesar 0,418 kg/kapita/minggu.
Peningkatan permintaan produk perikanan, khususnya udang baik di dalam negeri maupun pasar internasional selama pandemi diakui Budhi Wibowo, Ketua Umum Asosiasi Produsen Pengolahan dan Pemasaran Produk Perikanan Seluruh Indonesia (AP5I). Ia mencatat, meski ada penurunan di pasar food service namun pertumbuhan pesat di pasar ritel selama Covid-19.”Pasar ritel tumbuh sangat pesat karena semua orang tetap makan cuma beda tempat. Kalau dulu makan di restoran, saat pandemi makan di rumah masing-masing,” ujarnya.
Budhi menambahkan, di Maret – Mei 2020 pasar food service seperti restoran, kafe, katering menurun signifikan, sekitar 80%. Hal ini terjadi di pasar dalam dan luar negeri. Namun yang di luar dugaan, permintaan produk olahan beku (frozen) meningkat hingga 10 kali lipat dalam 2 tahun. Ini kesempatan mendorong produk bernilai tambah untuk menggenjot nilai ekspor.
Tantangan
Situasi ekspor produk perikanan Indonesia tahun 2021 masih didominasi udang sekitar 40%, lalu Tuna-Tongkol-Cakalang (TTC) 13%, Cumi-Sotong-Gurita (CSG) 11%, dan rajungan-kepiting 11%. Berdasarkan tujuan dan nilai ekspor, nomor satunya Amerika Serikat (AS), yaitu 44%, China 16%, Jepang 11%, negara-negara ASEAN 9%, sedangkan Uni Eropa hanya 6%. Jika berdasarkan volume, kata Budhi, ternyata ada perbedaan. Juaranya adalah China lalu AS. ”Hal ini terjadi karena AP5I dan asosiasi lain mengekspor ke Amerika dan Jepang itu utamanya produk-produk yang bernilai tinggi,” kata Budhi.
Udang Indonesia memiliki karakter dan ciri khas dibandingkan negara lain. Dua negara favorit tujuan ekspor udang Indonesia yaitu AS dan Jepang. Setiap tahun AS mengimpor udang sekitar 700 ribu ton. Sebanyak 18% atau sekitar 130 ribu ton berasal dari Indonesia. Sedangkan. Jepang yang terkenal dengan olahan seafood mengimpor 220 ribu ton udang per tahun dan 35 ribu tonnya (16%) diimpor dari Indonesia. Namun, pasar udang di Uni Eropa dan China masih belum tergarap maksimal. Padahal, Uni Eropa mengimpor udang sebanyak 650 ribu ton dan China 400 ribu ton.
Gunawan Mulyono, Manager Pengembangan Bisnis PT Istana Cipta Sembada (ISC) Group dalam forum Shrimp Outlook 2022 menerangkan, pasar utama udang di pasar internasional khususnya pasar tradisional: Amerika, China, Jepang, Korea, dan Eropa sebesar 2,85 juta. Ada 7 produsen udang yaitu Argentina, Vietnam, Ekuador, India, China, Thailand, dan Indonesia yang menguasai 50% pangsa pasar (market share) udang dunia. “Market share Indonesia secara value (nilai) sebesar 10,5%,” katanya. Bahkan prediksi ke depan, produsen pertama udang dunia akan diraih Ekuador pada 2027 dengan total produksi 2,5 juta ton. ”Ada data yang mengatakan Ekuador itu pertumbuhannya garis lurus ke atas,” sambung Gunawan.
Pasar ekspor udang terus meroket walau pandemi global belum berakhir. Meski begitu, tak sedikit hambatan, tantangan, dan tekanan yang dihadapi pasar ekspor udang yang kian hari semakin berat. Menurut Budhi, pembeli di luar negeri saat ini semakin ketat dan menuntut 3 aspek, yaitu food safety, traceability, dan sustainability. Salah satu contoh, China mensyaratkan tidak ada jejak Covid-19 di dalam produk perikanan.
Menghadapi ketatnya persaingan global, produsen udang di dalam negeri harus berbenah agar dapat bersaing dengan negara lain. Budhi pun mengajak pelaku industri pengolahan selalu meningkatkan kesadaran terhadap ketiga aspek tersebut. Dulu traceablity cukup one step-up, one step door. “Tapi sekarang cenderung akan menjadi mandatori dalam 2-3 tahun ke depan. Mereka minta end to end traceability. Eksportir tidak hanya mampu menjelaskan berasal dari mana supplier-nya, tapi end to end. Harus tahu dari tambak mana, pakan, dan benur yang digunakan,” jelasnya.
Value Added
Gunawan menambahkan, isu sustainability yang didengungkan pembeli tak lepas dari pelemahan pasar sebagai dampak melemahnya ekonomi global. Pasar Amerika dan Uni Eropa saat ini mengalami inflasi karena perang Rusia-Ukraina sehingga harga jual cenderung turun. “Jadi kita harus siap mental pasar harganya akan steady. Memang tidak akan turun jauh harganya karena udang sudah diterima oleh semua orang. Jadi, sudah jadi kebutuhan. Harga akan turun sedikit sekitar 5%-10%. Kemudian harga akan stabil dan akan naik lagi kalau suplainya terbatas,” urainya.
Jika diamati, situasi perekonomian dalam negeri relatif lebih baik. Pengembangan pasar domestik menjadi tumpuan harapan pelaku pengolahan udang sebagai solusi menghadapi persaingan pasar global. Pasar domestik hanya melihat pada harga dan kualitas. Oleh karena itu, AP5I bersama beberapa institusi, termasuk IPB University mendesain jaminan atau labelling yang menjamin produk berkualitas bagus dan diproses secara berkelanjutan. “Bahan bakunya sustain dan cara prosesnya sustain. Mudah-mudahan tahun depan sudah bisa kita develope dan sampaikan ke masyarakat, “ ungkap Budhi.
Di pasar global, produk udang olahan dikuasai China, Thailand, dan Vietnam. Ekuador dan India banyak masuk ke pasar komoditas. Jika Indonesia ingin bersaing dengan Ekuador di pasar AS, khususnya ritel, Gunawan menyarankan garap produk bernilai tambah (value added). Indonesia harus menyiapkan dan mempertahankan pasar, bila perlu menggeser Thailand dan Vietnam karena keunggulan Indonesia di produk value added.
Menurut Gunawan, jika ingin menang melawan Ekuador, semua pasar Asia harus dikuasai karena kekuatan Indonesia di Asia. “Ekuador jika masuk ke pasar Asia pasti mahal di biaya kirim. Jadi, Indonesia harus bersaing dengan Thailand, Vietnam, dan China. Termasuk pasar lokal, hampir semua negara pengekspor itu punya pasar lokal. Indonesia ini pasar lokalnya ada cuma belum tertata. Jadi pasar lokal harus dibangun,” tandasnya.
Brenda Andriana, Windi listianingsih