Foto: Dok. Pribadi
“Tetapi, ini bukan hanya kinerja saya, melainkan kerja sama tim dari Ditjen Tanaman Pangan karena ini bukan saya sendirian yang bekerja, banyak tim yang terlibat.”
Menjadi bagian dari personel yang mengurusi pangan menjadi kesan tersendiri karena pangan merupakan kebutuhan pokok.
Bahagia rasanya jika kerja sama yang kita jalin membuahkan hasil besar. Inilah yang dirasakan Gatut Sumbogodjati, Direktur Pengolahan dan Pemasaran Hasil Tanaman Pangan (PPHTP), Ditjen Tanaman Pangan, Kementerian Pertanian atas kesuksesan menyatukan berbagai pihak sehingga para petani porang bisa kembali mengekspor chips porang ke China. Bagaimana kisahnya?
Kerja Sama
Kerja sama seperti menjadi bagian yang tidak terlepaskan dari hidup Gatut. Pria kehadiran Solo, Jateng, 12 Agustus 1962 ini mengawali karier di Kementerian Pertanian (Kementan) dengan mengelola kerja sama bantuan program pemerintah Jepang untuk Indonesia. Ia ditugaskan sebagai tenaga honorer Counterpart bantuan luar negeri pada 1989/1990. “Saat itu ada pembukaan di Kementan, saya masuk sebagai tenaga honorer. Setahun kemudian, saya diterima sebagai pegawai tetap,” ungkapnya tentang perjalanan karier kepada AGRINA.
Sebelumnya, Gatut pernah bekerja sebagai konsultan. Bahkan, Sarjana Pertanian UNS itu juga sempat menggeluti sektor perdagangan produk pertanian seperti berjualan sayuran di Surakarta, Jateng. Setelah menjadi pegawai negeri di Kementan, cukup lama ia mengurusi bantuan proyek kerja sama luar negeri antara Indonesia dengan berbagai negara dan lembaga, seperti Uni Eropa hingga Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia (FAO). “Sebagai Counterpart, saya bertanggung jawab mengelola bantuan-bantuan tersebut,” kata suami Septi Triwidiana Dewi ini.
Banyak pengalaman berkesan yang diperoleh saat mendampingi tenaga ahli dari berbagai negara. Bekerja sama dengan Jepang menoreh kenangan tak terlupakan. “Saya belajar tentang kedisiplinan. Mereka sangat disiplin dan juga tepat waktu, merencakan sesuatu itu dengan penuh perhitungan,” jelasnya. Belum lagi membersamai tenaga ahli dari Jepang, Italia, dan Belanda yang memiliki kebiasaan berbeda-beda, “Sangat berkesan mengetahui perbedaan budaya tiap negara,” imbuh pria yang memiliki filosofi hidup apa adanya dan mengalir seperti air pegunungan yang sejuk.
Terkesima
Kerap mengelola bantuan Jepang mengantarkan Gatut terpilih mengikuti beberapa kali pelatihan di negeri sakura itu. Berbagai hal unik ia temui. Misalnya, saat pelatihan Gatut bersama seluruh peserta diminta menulis angka satu pada sebuah kertas selama beberapa hari. Hari pertama menulis, hasilnya beragam. Ada yang menulis angka satu hanya berupa garis tegak (I). Ada yang memakai garis miring di bagian atas (1). Ada pula yang menuliskan lengkap dengan garis miring di bagian atas dengan penopang kaki garis lurus di bagian bawah (1).
“Hari berikutnya ditunjukkan angka satu dari layar OHP (Over Head Projector) dan disuruh nulis lagi. Begitu diangkat, tulisannya sama,” cerita dia. Selama beberapa hari, para peserta menulis angka yang sama dengan melihat layar OHP. Keesokan harinya, peserta kembali diminta menulis angka satu tanpa melihat tampilan layar. “Hasilnya, semua tulisannya sama. Padahal nggak ada layar OHP. Mereka (Jepang) begitu memperhatikan keseragaman pemahaman, Makanya kalau ada program, hasilnya sama sampai ke bawah. Mungkin itu yang diajarkan sejak dini pada generasi mudanya” urainya.
Ada lagi hal yang membuat Gatut terkesima dengan perilaku orang Jepang saat beberapa tahun kemudian ia kembali mengikuti pelatihan di sana. Kala itu Gatut berjalan bertiga dengan peserta dari Indonesia hendak mengunjungi Konsulat Jenderal RI (KJRI) di salah satu perfektur di Jepang. Setelah tiba di perfektur yang dituju, mereka tidak tahu letak persisnya kantor KJRI. Mereka lantas menanyakan lokasi KJRI ke warga lokal, seorang pemudi yang melintas di jalan.
Gadis itu menunjukkan ke suatu arah. Sesampainya di arah tersebut, ternyata lokasi KJRI ada di arah berlawanan. Bergegaslah mereka menuju ke tempat yang benar. Ketika tiba di pintu masuk kantor KJRI, Gatut dan kawan-kawan bertemu lagi dengan gadis itu. Mereka cukup terkejut dan heran dengan hal tersebut. Ternyata, si gadis menuju kantor KJRI untuk menjelaskan pada staf KJRI bahwa ia salah menunjukkan arah kepada warga Indonesia yang bertanya. Begitu menyadari kekeliruannya, pemudi itu ingin memberitahu Gatut tapi sudah tidak terkejar.
“Sampai seperti itu, mau bersusah payah ke kantor menjelaskan, padahal anak muda,” ungkapnya takjub. Tidaklah mengherankan jika Jepang sangat berkesan dan memiliki tempat tersendiri buat pria yang sebelumnya menjabat Kasubdit Data Organisme Pengganggu Tumbuhan, Direktorat Perlindungan Tanaman Pangan, Kementan ini.
Ekspor ke China
Sebagai Direktur PPHTP, Gatut membuka hal yang baru-baru ini terjadi dan menggetarkan hati. Yaitu, bekerja sama dengan berbagai pihak dalam upaya membuka ekspor chips porang ke China. “Saya sangat terkesan dengan kebersamaan tim di Direktorat Jenderal Tanaman Pangan, Badan Karantina Pertanian (Barantan), OKKP (Otoritas Kompeten Keamanan Pangan), petani porang, pabrik porang, Dinas Pertanian di daerah, Atase Perdagangan KBRI Beijing, RRT yang berhasil membuka kembali ekspor chips porang ke China,” terangnya dengan mata berbinar.
Ia menuturkan, ekspor chips porang Indonesia ke negeri tembok raksasa itu ditutup pada November 2019 karena kurang memenuhi syarat, salah satunya registrasi kebun. Importir menghendaki ketelusuran (traceablity) produk dari hulu ke hilir. Sehingga, kebun porang harus teregristasi di Dinas Pertanian Kabupaten dan Provinsi. Selanjutnya, registrasi rumah kemas pabrik pengolah porang oleh OKKP Daerah dan Pusat Karantina Tumbuhan, Barantan. Karena itu, ia menginisiasi pembuatan buku petunjuk registrasi dan budidaya porang. Komunikasi dengan Atase Perdagangan KBRI pun intens dilakukan. Hasilnya, pada Juli 2022 Indonesia bisa mereekspor chips porang ke China.
Eksportir chips memberi penghargaan kepada Gatut sebagai ucapan terima kasih atas keberhasilan tersebut. “Direktorat PPHTP yang saya pimpin mendapat penghargaan dari 9 perusahaan yang mengeskpor chips porang. Tetapi ini bukan hanya kinerja saya, melainkan kerja sama tim Ditjen Tanaman Pangan karena ini bukan saya sendirian yang bekerja, banyak tim yang terlibat,” paparnya. Kesukesan ini, ucap lulusan S2 Universitas Pancasila, Jakarta itu, tidak akan berhasil tanpa kerja sama yang baik dari semua pihak terkait.
Menjadi bagian dari personel yang mengurusi bidang pangan, ulasnya, menjadi kesan tersendiri. “Karena pangan merupakan kebutuhan pokok manusia,” tukasnya yang dulu bercita-cita jadi pilot. Apalagi, Gatut kerap terlibat mencari solusi permasalahan petani, seperti reeskpor chips porang dan menghubungkan investor dengan petani jagung food grade yang saat ini sulit dipenuhi. “Dalam perjalanannya, membantu menyelesaikan problem petani di lapangan. Kalau kita lihat mayoritas pedagangnya yang beli produk petani yang enak, lebih untung daripada petani. Yang bisa dipelajari dari petani itu kesederhanaan dan keuletannya,” pungkasnya.
Windi Listianingsih