Foto: Dok. KKP
Kawasan tambak udang yang tertata akan menjaga kelestarian lingkungan dan keberlanjutan budidaya
Zonasi kawasan akan melestarikan lingkungan dan menjaga keberlanjutan budidaya.
Produksi udang nasional yang mengalami perlambatan pada 2021 disinyalir karena maraknya serangan penyakit. Menurut Budhi Wibowo, Ketua Umum Forum Udang Indonesia (FUI), kondisi ini karena tidak ada aturan tentang zonasi kawasan budidaya perikanan yang jelas sehingga terjadi penyebaran penyakit dari satu wilayah ke wilayah lain. Bagaimana penerapan zonasi tambak udang yang ideal?
Aturan Zonasi
Zonasi kawasan tambak sangat berpenting peran dalam mendukung budidaya udang berkelanjutan. Budi pun mendesak pemerintah agar segera menerapkan aturan zonasi yang sangat tegas karena negara-negara lain pun sudah mengeluarkan aturan tersebut.
“Pertama, kami ingin bahwa zonasi antara teknologi budidaya yaitu antara tradisionial denga tradisional plus dengan semiintensif harus dibedakan karena ini bisa saling mempengaruhi. Kemudian, zonasi hatchery dengan budidaya harus dibedakan. Dan terakhir, budidaya juga jangan zonasinya dengan industri lain, harus dipisahkan,” jelasnya pada webinar “Optimalisasi Zonasi untuk Budidaya Udang Berkelanjutan”.
Kedua, ia menyarankan, aturan tentang instalasi pengolahan limbah (IPAL), terutama di tambak intensif dimasukkan pula dalam aturan zonasi. “Kemudian, aturan yang berkaitan dengan mangrove ini juga kalau bisa masuk ke aturan yang berkaitan dengan zonasi karena mangrove saat ini jadi sorotan yang sangat tajam di dunia internasional yang berkaitan dengan isu carbon trade dan sustainability. Buyer kami semakin tajam menyoroti semua negara pembudidaya tentang mangrove ini,” tambahnya.
Mohamad Rahmat Mulianda, Asdep Pengembangan Perikanan Budi Daya Kementerian Koordinator bidang Maritim dan Investasi (Kemenko Marves)mengatakan, ancaman penyakit menjadi salah satu perhatian, termasuk pemetaan zonasi kawasan. “Ini PR besar kita juga dalam membackup produksi udang,” ucapnya. Pasalnya, produksi udang ditargetkan mencapai 2 juta ton untuk meraih peningkatan nilai ekspor US$8 miliar pada 2024.
Menurut Rahmat, ada 10 sentra budidaya udang yang harus dibuatkan zonasi kawasan yang detail dari level provinsi hingga kecamatan dan bisa membaca pola penyebaran penyakit atau ancaman produksi lainnya. “Jangan sampai ada transmisi virus antara sentra, bahkan transmisi dari negara luar. Itu peranan BKIMPM dan DJPB untuk membuat sinergitas program untuk membentengi masuknya virus-virus dari luar negeri dan antarprovinsi,” jelasnya.
Kemenko Marves pun membuat Crash Program, Program Nasional Peningkatan Produksi Industri Udang tahun 2022-2024 yang meliputi 10 bidang mulai dari bidang perencanaan, monitoring, dan evaluasi; bidang pengembangan kawasan tambak berkelanjutan; hingga bidang pengembangan riset, pelatihan, dan penyuluhan.
Bidang pengembangan kawasan tambak berkelanjutan berisi 3 poin utama, yakni penyelesaian konflik pemanfaatan ruang antara kegiatan tambak udang dengan kegiatan lainnya, kepastian tata ruang untuk jaminan investasi tambak jangka panjang, dan pengembangan sistem monitoring hama dan penyakit serta surveillance. “Ini bagian penting yang harus dituntaskan oleh KKP (Kementerian Kelautan dan Perikanan). Jadi, zonasi menjadi penting,” tegasnya.
Zonasi Penyakit
Kristina Retna Handayani, Koordinator Hama Penyakit Ikan, Direktorat Kawasan dan Kesehatan Ikan, Ditjen Perikanan Budidaya (DJPB), KKP menjelaskan, kebijakan pembangunan tambak udang berbasis kawasan dibangun dengan pertimbangan sisi ekologi dan ekonomi. Faktor pendorongnya adalah perlunya mendorong kelestarian ekologi, besarnya sumber daya lahan yang berpotensi sebagai kawasan tambak udang, dan peluang peningkatan produksi budidaya serta besarnya permintaan pasar.
Penerapan kebijakan yang dilakukan KKP, ulas Retna, yaitu pengelolaan tambak udang dalam satu kawasan terukur dan berkelanjutan, penerapan zonasi kawasan budidaya udang, penetapan kuota produksi per kawasan budidaya udang, standardisasi tambak udang berbasis kawasan budidaya udang. Kebijakan ini juga melibatkan pembudidaya lokal, melibatkan pemerintah daerah dalam penyiapan lahan; regulasi; serta pembinaan masyarakat, dan peran stakeholder.
Tipe zonasi yang sudah dilakukan KKP ialah zonasi penyebaran penyakit udang di sentra budidaya sejak tahun 2018. Penyakit yang disoroti yaitu White Spot Syndrome Virus (WSSV), Infectious Myonecrosis Virus (IMNV), Enterocytozoon Hepatopenaei (EHP), dan Acute Hepatopancreatic Necrosis Disease (AHPND) dengan indikator warna sebagai penanda infeksi penyakit. Warna merah menunjukkan infeksi berat, kuning untuk infeksi sedang, dan hijau untuk infeksi rendah.
Kriteria infeksi ringan, sedang, dan berat mengacu pada peraturan Organisasi Kesehatan Hewan Internasional (OIE). “Bila kematian kurang dari 30%, dikatakan kasusnya ringan. Kematian 30%-60%, kasusnya sedang. Lebih dari 60%, kasusnya berat. Data-data penyakit sudah dikomunikasikan ke stakeholder. Tapi hasil zonasi itu bisa dilihat di laman impikan.kkp.go.id,” terangnya.
Selama periode 2018-2021, Retna menyebutkan, tambak udang di Sumut menghadapi kasus WSSV, IMNV, EHP, dan AHPND. “Di 2019 kita bisa lihat kasus AHPND apakah meluas karena tadinya ada 2 kabupaten, ternyata ada 1 kabupaten kasusnya muncul dengan infeksi berat tapi 2 kabupaten ringan. Untuk 2020, 2021 banyak yang laporannya tidak mencukupi karena pandemi,” ulasnya.
Karena data tersebut baru bersumber dari DJPB, ia meminta kolaborasi berbagai institusi agar zonasi lebih mendekati riil. “Kami berharap institusi atau pihak lain yang punya data surveillance sama-sama mengumpulkan data supaya zonasinya lebih mewakili yang terjadi di lapang,” pintanya.
Di samping itu, KKP juga membuat model tambak udang terintegrasi dan revitalisasi tambak. Model tambak udang terintegrasi seluas 500 ha di Aceh Timur, Aceh; Muna, Sultra; dan Sumbawa, NTB serta revitalisasi tambak udang skala kecil seluas 250 ha di Kotabaru, Kalsel dan Konawe Selatan, Sultra.
Aplikasi Zonasi
Sementara itu, Prof. Bambang Widigdo, akademisi IPB University dan pegiat akuakultur Indonesia menyampaikan, zonasi kawasan perikanan merupakan salah satu tuntutan global yang sudah diminta sejak lama. “Mulai tahun 2008, tuntutan global terkait keramahan lingkungan dan ramah sosial semakin meningkat,” katanya. Di samping itu, kebutuhan akan zonasi juga sangat penting bagi para pelaku usaha budidaya udang di dalam negeri karena tuntutan semakin intensinya penemuan gejala penyakit di sentra budidaya.
Bambang mengamati rencana pemerintah untuk merevitalisasi tambak udang guna meningkatkan produktivitas. FUI, Shrimp Club Indonesia (SCI), United Nation Industrial Development Organization (UNIDO), dan stakeholder terkait lainnya menilai tambak tradisional tidak perlu direvitaliasi ke tambak semiintensif yang produktivitasnya 8 ton/ha/tahun. Mereka menyarankan cukup revitalisasi menjadi tambak tradisional plus saja dengan produktivitas 2 ton/ha/tahun.
“Kalau kita kerjakan dengan baik, berdasarkan data yang ada, 80% dari tambak tradisional kita yang 650 ribu ha, 80% nya meningkat 2 ton/ha/tahun itu sudah hebat, bisa 2 juta ton lebih,” ungkapnya. Terlebih, tidak semua tambak tradisional tertata rapi dan bisa dikonversi menjadi tambak tradisional plus apalagi tambak semiintensif. Karena itu, ia menekankan pentingnya identifikasi di lapangan untuk melihat tambak mana yang bisa direvitalisasi.
Bambang juga berharap revitalisasi tambak udang di Konawe Selatan dan Kota Baru menjadi contoh penataan zonasi kawasan budidaya udang. “Kita harus mengusahakan menjadi tertata. Langkah yang sangat fenomenal kalau bisa mengusahakan per klaster saja. Kalau di 2 tempat tadi bisa ditata seperti ini (rapi dan beraturan), akan memberikan contoh yang baik,” tandasnya.
Windi Listianingsih