Foto: Windi Listianingsih
“Harus ada keberpihakan dari pengambil kebijakan di pusat, bagaimana kita memanfaatkan potensi petani kita di dalam negeri sehingga menghasilkan nilai tambah.”
Dengan sentuhan pemberdayaan dan pendampingan, petani bisa menghasilkan produk bernilai tambah yang mendatangkan devisa buat negara.
Petani akan bisa berjaya ketika diberi kesempatan untuk berdaya. Mohammad Takdir Mulyadi sudah membuktikan hal ini bersama para petani di Jambi dan Jawa Timur. Bagaimana resep Direktur Perlindungan Tanaman Pangan, Ditjen Tanaman Pangan, Kementerian Pertanian (Kementan) itu membuat petani berjaya?
Ekspor Benih
Petani di Tuban, Jawa Timur, ungkap Takdir, sapaan akrabnya, sukses mengekspor benih jagung hibrida ke Thailand pada akhir tahun 2020. Satu itu merupakan kali pertama petani di sana yang bekerja sama dengan mitra dari swasta, bisa melakukan ekspor produk rakitan anak bangsa, yaitu varietas jagung JH37. “Jagung hibrida rakitan anak Nusantara itu, JH37 itu bisa minimal 7-8 ton/ha dengan budidaya yang baik,” terangnya.
Demikian pula petani di Sulawesi Utara, berencana mengekspor benih jagung JH37 ke Filipina. Pasalnya, produktivitas jagung di negara itu rerata hanya menghasilkan 2-3,5 ton/ha. Sayang, kegiatan ini tertunda pelaksanaannya lantaran Filipina keburu melakukan lockdown (karantina) akibat pandemi Covid-19.
Takdir yang waktu itu menjadi Direktur Perbenihan Tanaman Pangan, berupaya memberdayakan petani penangkar benih dengan mengembangkan jagung hibrida lokal. Kemudian, ia mempertemukan para petani dengan perusahaan yang berminat memasarkan benih rakitan anak bangsa tersebut. “Petani itu kalau didampingi, dengan keahlian, kedisplinannya, bisa,” imbuh dia.
Saat menjabat Direktur Perbenihan Tanaman Pangan pada 2018-2021, Takdir melihat potensi jagung hasil rakitan anak bangsa cukup besar, terlebih jika mau memberdayakan petani. Sehingga di tahun 2018 dan 2019, ia melakukan kegiatan korporasi perbenihan. “Program itu sekarang masih lanjut, namanya P3BTP (Pengembangan Petani produsen Benih Tanaman Pangan). Isinya melakukan upaya-upaya pemberdayaan petani untuk menghasilkan benih secara in situ,” jelasnya.
Pria kelahiran Mataram, 23 April 1963 tersebut mengungkap, kebanyakan benih dihasilkan di tanah Jawa, khususnya di Jawa Timur. Karena Indonesia merupakan negara kepulauan, lanjutnya, “Kalau sudah mulai akan dilakukan program, biasanya agak susah teman-teman di daerah, apalagi teman-teman di kepulauan. Nah, saya ambil kebijakan bagaimana kalau benih itu kita dekatkan. Toh kita juga punya lembaga BPSB (Balai Pengawas dan Sertfikasi Benih) yang mendapat pendanaan kita (Kementan). Itu kita berdayakan, kerja sama dengan petani penangkar,” urainya.
Petani penangkar pun digandengkan dengan mitra yang bisa memasarkan benih, salah satunya melalui penyediaan untuk program pemerintah. “Kita gaet, alhamdulillah itu berhasil. Pada tahun 2019 lalu saya mulai dari 6 provinsi untuk jagung hibrida, yaitu Tuban, Sulawesi Utara. Di tahun yang sama di Lampung, Kalimantan Selatan, buka juga di Rembang dan Blora (Jawa tengah),” ulasnya.
Keberpihakan
Menurut Takdir, program pemberdayaan penangkar benih jagung itu cikal bakalnya berasal dari Jambi. Tahun 2016-2017 saat memimpin Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jambi, ia memberdayakan petani dengan membuat demplot-demplot skala kecil yang menampilkan teknologi yang dikembangkan para peneliti BPTP Jambi.
Khusus jagung, Sarjana Pertanian lulusan UNS ini mengajak petani untuk menangkarkan benih jagung hibrida kreasi anak bangsa bekerja sama dengan Balai Penelitian Tanaman Serealia, Maros, Sulawesi Selatan. Hal ini sejalan dengan program Kementan untuk memenuhi kebutuhan benih jagung hibrida Indonesia melalui produk-produk yang dihasilkan dari dalam negeri.
“Pada waktu kami menekuni itu, alhamdulillah berhasil. Kita bermitra dengan petani penangkar, kami dari BPTP ketemu pengusaha, dia punya lahan di satu tempat, daerah rawa. Dia akan membuka sekitar 1.000 ha, minta kita teknologi. Kami sudah bisa membuat, berani menawarkan jagung hibdrida. Benih yang kita hasilkan yaitu Bima 20 URI,” terangnya sambil tertawa kecil.
Di Direktorat Perbenihan Tanaman Pangan, ia mencoba mengembangkan dengan skala yang lebih luas, mencapai 500-600 ha untuk memproduksi benih jagung dari dalam negeri. “Ini contoh-contoh yang harus ada keberpihakan dari pengambil kebijakan di pusat, bagaimana kita memanfaatkan potensi petani kita di dalam negeri sehingga menghasilkan nilai tambah,” saran Takdir.
Kegiatan pemberdayaan ini ia replikasi di Direktorat Perlindungan Tanaman Pangan lewat Program Pemberdayaan Petani dalam Penerapan PHT (P4S). Melalui program ini petani diajarkan cara melakukan perlindungan hama terpadu secara ramah lingkungan. Salah satunya, mempelajari pembuatan agensia hayati spesifik lokal, seperti pestisida nabati dari buah mojo untuk mengendalikan hama wereng batang cokelat pada tanaman padi.
Pestisida nabati tersebut berhasil dikembangkan petani di Tenggalek, Jawa Timur. Akibatnya, para petani sampai mengantri panjang buat memperoleh pestisida nabati itu karena biayanya lebih murah sehingga menurunkan ongkos produksi. “Jadi, petani kita berdayakan juga. Petani itu kalau kita dampingi terus ‘kan fresh from the oven. Makanya perlu ada keberpihakan dari para pengambil kebijakan baik di middle, lower, higher,” Takdir kembali menekankan pentingnya keberpihakan pada petani.
Bermanfaat Luas
Ayah dua anak ini mengungkap, pengalaman selama di BPTP Jambi menjadi tempatnya ditempa berbagai ilmu dan teknologi pertanian sekaligus praktik lapang. Apalagi, Jambi memiliki 4 agroekosistem yang berbeda mulai dari daerah dataran rendah meliputi tanah sawah, rawa, hingga lahan tadah hujan, dan dataran tinggi.
“Jadi, Jambi itu cukup komplet. Di sana saya ditempa, teknologi-teknologi yang kita rakit dalam rangka meningkatkan teknologi masyarakat, itu saya lakukan. Karena pertaruhannya adalah petani puas atau tidak. Jadi, teknologi yang kita rakit, diseminasikan ke mereka melalui pengawalan ke mereka, puas atau tidak,” ujar doktor lulusan IPB University itu.
Selain berhasil memberdayakan penangkaran benih jagung hibrida lokal, Takdir juga membuat Taman Teknologi Pertanian dengan program integrasi sapi sawit. Prinsipnya zero waste yang memanfaatkan bahan-bahan lokal. Sapi dikandangkan secara komunal. Limbahnya dibuat menjadi kompos dan biogas di BPTP. Kompos disalurkan ke mitra penangkar benih jagung.
“Alhamdulillah, kegiatan-kegiatan yang kita lakukan ini bermanfaat dan teman-teman di BPTP menjadi lebih realistis antara bahasan teori dengan rakitan yang lebih aplikatif. Ini yang membuat kami di sana waktu itu menjadi BPTP yang cukup baik mengawal program-program pusat,” katanya semringah.
Berbekal pengalaman tersebut, Takdir melebarkan kariernya dengan mengikuti seleksi menjadi pemimpin di direktorat teknis lingkup Kementan. Mimpinya hanya satu, “Saya pingin supaya bisa membuat kebijakan-kebijakan sesuai kewenangan saya untuk bermanfaat kepada petani, bermanfaat kepada seluruh rakyat,” buka pria yang senang belajar dari manapun dan siapapun itu.
Untuk meraih itu semua, penggemar olahraga jogging ini mengatakan, kuncinya harus fokus, komitmen, disiplin, sabar, dan ikhlas dengan menyerahkan hasilnya pada Yang Maha Kuasa. “Ya terakhir kita bersabar, ikhlas. Namanya usaha, Di Atas (Tuhan) yang merestui. Insyaallah semua itu pasti ada hasilnya kalau kita sudah berusaha keras. Kalau toh gagal, gagalnya nggak terlalu parah,” tutupnya bijak.
Windi Listianingsih