Jumat, 29 April 2022

Realisasi Peremajaan Sawit Rakyat Masih Jauh, Perlu Kemitraan

Realisasi Peremajaan Sawit Rakyat Masih Jauh, Perlu Kemitraan

Foto: ist.
Dari target PSR 180 ribu ha/tahun, realisasi paling tinggi hanya seluas 92.066 ha pada 2020.

Jakarta (AGRINA-ONLINE.COM).Peremajaan Sawit Rakyat (PSR) yang ditargetkan pemerintah mencapai 540 ribu ha hingga 2022. Sebagai percepatan langkah tersebut, pola kemitraan menjadi salah satu upaya yang ditempuh.

 

Untuk mewujudkan pola kemitraan ini, Kementerian Pertanian telah menerbitkan Permentan No.3/2022 tentang Pengembangan Sumber Daya Manusia, Penelitian dan Pengembangan, Peremajaan, serta Sarana dan Prasarana Perkebunan Kelapa Sawit.

 

Hendratmojo Bagus Hudoro, Direktur Tanaman Tahunan dan Penyegar Ditjen Perkebunan Kementan menjelaskan, total luas perkebunan sawit di Indonesia mencapai 16,38 juta ha. Dari angka tersebut, sebanyak 6,94 juta ha merupakan perkebunan sawit rakyat. Saat ini, imbuhnya, diperkirakan terdapat 2,8 juta ha kebun sawit rakyat yang potensial untuk diremajakan.

 

“Dari 2,8 juta ha potensi peremajaan sawit rakyat, sebagian besar merupakan kebun plasma dan swadaya dengan luasan 2,29 juta ha. Disusul kebun dari pola PIRBUN 0,14 juta ha, dan plasma PIR-TRANS/PIR-KKPA 0,37 juta ha," jelasnya dalam diskusi Forum Wartawan Pertanian (FORWATAN)  bertema"Pola Kemitraan Mempercepat PSR dan Kesejahteraan Petani", Kamis (28/4).

 

Hendratmojo mengatakan, target utama peremajaan sawit adalah kebun yang dikelola oleh rakyat. Semenjak 2020, Program PSR ditargetkan menjangkau 540 ribu ha kebun sawit rakyat sesuai arahan Presiden Joko Widodo. Setiap tahunnya, pemerintah menargetkan 180 ribu ha peremajaan.

 

Namun demikian, realisasi PSR sulit dicapai dengan berbagai persoalan dan tantangan yang dihadapi di lapangan. Berdasarkan data Ditjen Perkebunan, realisasi PSR tertinggi hanya seluas 92.066 ha pada 2020. Memasuki 2021, angka pencapaian PSR malah turun signifikan menjadi 27.747 ha. 

 

Hendratmojo mengakui, kendala dalam pelaksanaan program PSR yakni legalitas lahan, dukungan stakeholder, minat pekebun, dan kelembagaan pekebun.“Tantangan terberat PSR dari aspek legalitas lahan. Di lapangan masih ditemukan kebun belum punya sertifikat hak milik, lahan terindikasi masuk kawasan hutan, dan adanya tumpang tindih kebun rakyat dengan HGU (Hak Guna Usaha) dan hak tanah lainnya,” jelasnya.

 

Beratnya tantangan yang dihadapi berdampak kepada realisasi PSR baru 1.582 ha sampai April 2022. Salah satu upaya pemerintah mempermudah akses dan memperluas jangkauan PSR difasilitasi dengan terbitnya Permentan Nomor 03 Tahun 2022 tentang Pengembangan Sumber Daya Manusia, Penelitian dan Pengembangan, Peremajaan, serta Sarana dan Prasarana Perkebunan Kelapa Sawit.

 

 

Dalam Permentan Nomor 3/2022, mekanisme pengusulan PSR dapat melalui dua jalur yaitu jalur dinas daerah kabupaten/kota dan jalur kemitraan. Bagus menjelaskan bahwa adanya jalur kemitraan membantu percepatan PSR. Melalui jalur ini, kelompok tani/gapoktan dapat menjalin kemitraan dengan perusahaan perkebunan lalu diusulkan kepada Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS). 

 

Menurut dia, petani dan perusahaan dapat bekerjasama untuk mengkoordinasikan kelengkapan dokumen pengusulan PSR. Dokumen tersebut antara lain  kriteria perusahaan perkebunan, perjanjian kerjasama perusahaan dan kelembagaan pekebun, legalitas perkebun dan kelembagaan pekebun, serta legalitas dan status lahan.

 

Mukti Sardjono, Direktur Eksekutif GAPKI, menyambut baik jalur kemitraan dengan perusahaan sebagai upaya mempercepat program PSR. Kemitraan antara perkebunan besar dengan petani sawit merupakan upaya strategis dalam rangka meningkatkan kinerja industri sawit dengan mensinergiskan kelebihan masing-masing pelaku usaha.

 

Data 2016-2021, jumlah perusahaan sawit anggota GAPKI yang menjadi mitra PSR berjumlah 68 perusahaan, dengan menggandeng 147 kelompok tani. Mukti menuturkan, dengan kelebihan perkebunan besar dalam pengelolaan kebun, pengolahan, pemasaran serta fasilitas lainnya, kerjasama kemitraan akan dapat meningkatkan produktivitas kebun dan pendapatan petani pekebun.

 

“GAPKI ingin kemitraan yang dikembangkan harus didasari saling menguntungkan dan berkesinambungan. Untuk itu perlu dibuat perjanjian kerjasama antara masing-masing pihak yang bersifat mengikat kedua belah pihak,” ujarnya.

 

Masalahlegalitas lahan kebun petani, aku Mukti, menyulitkan anggotanya untuk terlibat dalam PSR. Sebagai contoh, kebun petani dari program PIR-Trans dan PIR-BUN seluas  513.927 potensial dilibatkan dalam PSR. Sebenarnya kebun yang telah dibangn semenjak 1977 ini masuk kriteria untuk diremajakan karena umur tanaman melewati umur 25 tahun, mempunyai kelompok tani bahkan koperasi,dan umumnya hampir sudah bersertifikat.

 

"Tetapi begitu diusulkan PSR, kebun eks PIR tadi sebagian besar terindikasi dalam kawasan hutan. Ini aneh sekali karena sudah ada sertifikat hak milik. Kebun tadi diklaim berada di kawasan hutan," sambungnya.

 

Rino Afrino, Sekjen DPP APKASINDOmenangkis anggapan bahwa petani tidak berminat ikut program PSR. Sebab, petani generasi kedua memiliki ekspektasi tinggi terhadap kebun sawitnya. Mereka menginginkan produksi kebun yang lebih baik, nilai tambah tinggi, kepastian harga, dan kejelasan legalitas lahan.

 

Senada dengan pembicara lainnya, Rino menguraikan tiga faktor yang mengakibatkan realisasi PSR turun. Faktor pertama adalah legalitas kebun petani yang diklaim berada di kawasan hutan dan juga diklaim tumpang tindih dengan HGU perusahaan. 

 

Kedua, terkait dengan birokrasi yang rumit, RinomengapresiasiKementerian Pertanian dalam menyelesaikan persoalan birokrasi. Salah satunya melalui penyederhanaan syarat dan penerbitan regulasi yang mempermudah PSR.

 

Faktor ketiga, petani dihadapkan kepada masalah hukum. Mereka harus dipanggil aparat penegak hukum seperti kejaksaaan dan kepolisian berkaitan penggunaan dana PSR.”Bahkan, ada sejumlah oknum LSM lokal yang memanfaatkan kesempatan untuk mempermasalahkan petani PSR. Akibatnya, petani kami was-was untuk mengajukan PSR,” jelas Rino.

 

Rino sepakat dengat terbitnya jalur kemitraan dalam PSR diharapkan mampu meningkatkan realisasi PSR. Kuncinya adalah perjanjian kemitraan yang setara menjadi kunci sukses.

 

“Selain itu, BPDPKS dan Ditjen Perkebunan diharapkan lebih kreatif, dan inovatif dalam mendorong percepatan PSR melalui realisasi peraturan turunan dan meningkatkan sinergi dengan pihak khususnya dengan KLHK,” ujar Rino.

 

Firman Subagyo, Anggota Komisi IV DPR RI, mendukung pola kemitraaan dalam program PSR agar program Presiden Jokowi ini dapat mencapai target. Pelaksanaan pola kemitraan ini dapat terlaksana asalkan posisi petani dan perusahaan saling setara. Kedua belah pihak diuntungkan bukan atas dasar belas kasihan.

 

Terkait kawasan hutan, ia berjanji Komisi IV DPR RI akan memanggil Menteri LHK untuk meminta kejelasan legalitas kebun petani sawit.”Semua pihak baik Kementerian LHK, Kementerian ATR/BPN, dan Kementerian Pertanian diharapkan duduk satu meja. Percepatan PSR harus menjadi prioritas karena berkaitan dengan nasib petani rakyat,” tegsnya.

 

Try Surya A

 

 
Agrina Update + Moment Update + Cetak Update +

Artikel Lain