Minggu, 26 Desember 2021

Sang Penyumbang Surplus Perdagangan Harus Berkelanjutan

Sang Penyumbang Surplus Perdagangan Harus Berkelanjutan

Foto: TSA
Prof. Bungaran Saragih: Indonesia harus memanfaatkan peluang dan tren permintaan pasar dunia

Jakarta (AGRINA-ONLINE.COM). Menteri Pertanian 2000-2004, Prof. Bungaran Saragih berujar, Indonesia harus memanfaatkan peluang dan tren permintaan pasar dunia yang diperkirakan akan terus meningkat menuju tahun 2045. Menurutnya, sebagai negara produsen minyak kelapa sawit terbesar di dunia pada saat ini, Indonesia harus menjaga eksistensi dan keberlanjutan produksi minyak kelapa sawit Indonesia.
 
“Peningkatan produksi dapat melalui dua cara yakni ekstensifikasi dan intensifikasi. Ekstensifikasi melalui ekspansi lahan tidak dapat dilakukan mengingat keterbatasan lahan dan masih berlakunya Inpres Moratorium Nomor 8 Tahun 2018,” ungkapnya di tengah diskusi ‘Upaya Mempercepat Peningkatan Produksi dan Produktivitas Sawit Nasional yang Berkelanjutan Menuju Indonesia Emas’, yang digelar oleh AGRINA dan PASPI (22/12).
 
Tuntutan konsumen global terkait aspek lingkungan juga merupakan salah satu aspek yang diperhatikan dalam rangka peningkatan produksi minyak kelapa sawit. Oleh karena itu, imbuhnya, arah pengembangan industri kelapa sawit nasional menuju 2045, khususnya pada sektor hulu dalam rangka peningkatan produksi minyak dilakukan melalui peningkatan produktivitas atau intensifikasi.
 
Bungaran mengatakan, posisi Indonesia dengan minyak sawitnya diharapkan tetap terjaga di masa depan. Tahun 2045 memiliki arti spesial bagi Indonesia. Tidak hanya merayakan ulangtahun kemerdekaan Republik Indonesia yang ke-100, namun juga diharapakan menjadi periode keemasan bagi industri kelapa sawit nasional.
 
“Pada periode tahun tersebut Indonesia akan menikmati bonus demografi dan diperkirakan menjadi Top-4 negara dengan perekonomian terbesar di dunia, setelah China, Amerika Serikat dan India,” bahasnya.
 
Untuk itu, perubahan strategis juga tidak hanya terjadi di Indonesia, melainkan juga terjadi pada level global yang turut mempengaruhi industri perkelapasawitan nasional, mengingat industri ini menjadi salah satu industri startegis nasional.
 
Strategi yang dapat dilakukan untuk meningkatkan produktivitas minyak kelapa sawit dapat dilakukan melalui dua strategi yakni peningkatan produktivitas parsial melalui perbaikan kultur teknis atau manajerial pada kebun eksisting dan peningkatan produktivitas total dengan perubahan varietas dan kultur teknis-manajerial atau replanting.
 
Kedua strategi tersebut dapat dilakukan dengan menyesuaikan sasaran tertentu, dimana strategi produktivitas parsial ditujukan pada kebun sawit Tanaman Belum Menghasilkan (TBM) dan kebun sawit Tanaman Menghasilkan (TM), sedangkan strategi produktivitas total ditujukan pada kebun kelapa sawit yang berumur tua atau renta.
 
Mula Putra, SubKordinator Pengembangan Kawasan Kelapa Sawit Kementerian Pertanian menimpali, kelapa sawit salah satu industri andalan Indonesia, industri tersebut banyak meyerap tenaga kerja dan nilai ekspor melebihi sektor minyak dan gas.
 
“Dalam aspek lapangan kerja telah menyerap 16,2 juta orang baik langsung maupun tidak langsung dan bisa menjadi salah satu bahan baku energi baru terbarukan,” ujar Mula.
 
Luas areal perkebunan kelapa sawit saat ini 16,38 juta hektare (ha) dengan produksi sekitar 48,29 juta ton. Ini masih rendah jika dilihat dari aspek produktivitas CPO sekarang baru mencapai 3,8 ton/ha/tahun, jelas dia.
 
Menurutnya, capaian ini masih jauh dari potensinya dan akan ada upaya-upaya dilakukan Kementan melalui Direktorat Jenderal Perkebunan untuk peningkatan produktivitas sawit. “Strategi pemerintah menargetkan peremajaan sawit rakyat (replanting) 540.000 ha selama tiga tahun,” ujar Mula.
 
Sawit Membuat Neraca Perdagangan RI Surplus
Direktur Eksekutif Palm Oil Agribusiness Strategic Policy Institute (PASPI) Tungkot Sipayung mengungkapkan, hilirisasi sejak tahun 2010 hingga 2020 itu sudah merubah struktur eskpor kelapa sawit.
 
“Tadinya 57% adalah ekspor CPO, sekarang tinggal 22%. Jadi olahan meningkat 38% menjadi 67% dan ini kemajuan hilirisasi yang harus kita apresiasi,” ujar dia.
 
Adapun nilai ekspor sawit periode Januari-Oktober 2021 sudah mencapai USD 30 miliar. Ia memperkirakan, hingga Desember 2021 devisa sawit mencapai USD 40 miliar, ini prestasi tertinggi yang akan dicapai industri sawit kita sepanjang idustri ini ada.
 
Tungkot menjelaskan, pentingnya peranan industri sawit dan B30 dalam neraca perdagangan Indonesia. Adanya ekspor sawit dan program B30 Indonesia mengalami surplus neraca perdagangan sepanjang sejarah.
 
“Jadi yang membuat surplus neraca perdagangan adalah industri sawit bukan migas. Tanpa ekspor sawit dan B30 secara tidak langsung neraca perdagangan Indonesia menjadi defisit,” ujar dia.
 
Isu strategis perkebunan sawit nasional yakni tren produktivitas tandan buah sawit (TBS) selama 10 tahun terakhir menurun dan biaya produksi CPO meningkat. “Itu masalah sangat besar dan soal daya saing kita ke depan karena kalau kita tidak segera dibenahi secepatnya akan menjadi bom waktu,” tandas dia.
 
Wakil Sekjen Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI), Agam Fatchurrochman memperkirakan devisa ekspor yang didapat dari kelapa sawit hingga akhir tahun ini mencapai US$35 miliar. Rekor ekspor Indonesia dan ekspor sawit ini, dinikmati oleh masyarakat, perusahaan dan pemerintah.
 
Ketua Umum Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (APKASINDO) yang turut hadir berdiskusi menambahkan, saat ini harga sawit meningkat di tingkat petani sawit. “Petani sawit lebih beruntung dari petani tanaman pangan atau hortikultura karena kami memperoleh pendapatan rata-rata Rp2,5 juta per ha,” tandasnya. 
 
Try Surya A
 

 
Agrina Update + Moment Update + Cetak Update +

Artikel Lain