Foto: DOK. AGRINA
APTRI: Sejak 2019 petani tebu merugi, biaya produksi semakin tinggi
Jakarta (AGRINA-ONLINE.COM). Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI) mempertanyakan harga pokok produksi (HPP) dan harga eceran tertinggi (HET) gula tani saat ini masih berdasarkan pada regulasi tahun 2016 lalu.
Padahal, menurut Ketua Umum APTRI, Soemitro Samadikun, biaya produksi gula dari petani sudah meroket tinggi tahun ini. Kondisi tersebut tentunya tidak menguntungkan para petani di berbagai daerah. Walhasil, produksi tebu dari petani lokal relatif menyusut yang diimbangi dengan kebijakan impor dari pemerintah setiap tahunnya.
Soemitro menjelaskan, sejak 2019 petani tebu merugi. Keputusan HET Rp12.500/kg itu merupakan yang ditetapkan pada 2016 dan tidak berubah hingga kini. “Apakah benar bahwa kebutuhan kita untuk memproduksi tanaman tebu itu semakin murah,” tanya Soemitro (28/9).
Ia mengulas, gula dari petani sempat disetujui untuk dibeli oleh sejumlah importir senilai Rp11.500 pada tahun lalu. Hanya saja, rencana itu tidak kunjung terealisasi.
Akhir-akhir ini, petani menjual gula dengan harga berkisar pada Rp10.500/kg kepada Holding Perkebunan Nusantara PTPN III (Persero) dan PT Rajawali Nusantara Indonesia (Persero). Namun, penawaran petani tersebut juga tidak ditanggapi.
“Jadi kita turun hasil gula kita tahun ini, tidak ada petani hari ini yang menjual gula di atas Rp11.000, di atas Rp10.500 saja sudah jagoan itu,” bebernya.
Berdasarkan data APTRI, rata-rata produksi gula dari petani sebesar 5,14 ton/ha di atas lahan seluas 418.000 ha/tahun. Setelah melalui bagi hasil dengan pabrik gula terkait, produksi gula dari petani berada di kisaran 3,39 ton/ha.
Pada kesempatan lain, Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Kementerian Perdagangan Oke Nurwan menyebutkan bahwa stok gula konsumsi saat ini bisa memenuhi kebutuhan sampai lima bulan ke depan atau sampai awal 2022.
Namun, pemerintah belum bisa memastikan kebutuhan impor pada 2022. Laporan dari pabrik gula BUMN, swasta, dan Perum Bulog memperlihatkan bahwa stok gula per 17 September berada di angka 1,19 juta ton. Dengan kebutuhan rata-rata bulanan sebesar 234.000 ton, stok tersebut diproyeksi bisa memenuhi kebutuhan selama 5,1 bulan ke depan.
“Stok bisa memenuhi kebutuhan lima bulan ke depan. Namun untuk perhitungan kebutuhan impor perlu mengacu pada data Badan Ketahanan Pangan,” kata Oke mengutip bisnis.com, Senin (20/9).
Dari jumlah stok tersebut, Oke menjelaskan 1,12 juta ton di antaranya merupakan gula kristal putih (GKP) dari tebu produksi dalam negeri, sementara GKP asal gula mentah impor sebanyak 37.127 ton. Adapun stok gula yang dikelola Perum Bulog berjumlah 9.649 ton. Per 4 September masih ada sisa stok GKP impor milik RNI yang telah terjual, tetapi masih di gudang RNI sebesar 21.312 ton.
Try Surya A