Senin, 2 Agustus 2021

SAWIT : Tumpang Sari Sawit dan Porang Menguntungkan?

SAWIT : Tumpang Sari Sawit dan Porang Menguntungkan?

Foto: Dok. Agus
Umbi porang mengandung glukomanan yang bernilai jual tinggi

Kandungan glukomanan membedakan porang dengan walur, suweg, dan iles-iles.
 
Sebagian besar petani sawit tengah menjalani masa replanting (peremajaan) melalui program peremajaan sawit rakyat (PSR).
 
Menurut Dr. Agus Susanto, Kepala Bagian Bidang Penelitian Pusat Penelitian Kelapa Sawit (PPKS), Medan, Sumut, ada sekitar 300 ribu ha tanaman belum menghasilkan (TBM) per tahun melalui PSR.
 
Selain itu, ada 16,37 juta ha luas tutupan kelapa sawit berupa TBM dan TM (tanaman menghasilkan) di Indonesia.  
 
Selama peremajaan, petani melakukan tumpang sari dengan komoditas lain agar memperoleh pendapatan di kala sawit belum menghasilkan.
 
Agus menganjurkan petani menanam porang yang bisa memberi keuntungan hingga Rp400 jutaan/ha/musim.
 
 
Kriteria Tanaman Sela
 
Agus menjelaskan, selama ini tumpang sari di perkebunan sawit banyak memanfaatkan tanaman padi, jagung, kedelai, semangka, singkong, atau sorgum.
 
Tanaman untuk tumpang sari ini harus memenuhi kriteria tanaman sela, yaitu cepat menghasilkan, laku, hasilnya tinggi dan harganya bagus, praktis dan mudah budidayanya, kemudian mudah perawatan dan sedikit tenaga kerja.
 
Doktor lulusan IPB University ini mengungkap 5 alasan menanam porang sebagai tanaman sela di perkebunan sawit, khususnya saat replanting.
 
Pertama, punya nilai ekonomi yang tinggi. “Prospek bisnisnya untuk industri pangan dunia, semua orang membutuhkan. Porang sudah lama dimanfaatkan sebagai bahan pangan dan diekspor sebagai bahan baku industri,” katanya dalam webinar Prospek Pengembangan Tanaman Kelapa Sawit dan Porang dengan Pola Tumpang Sari, Kamis (17/6).  
 
Tanaman bernama latin Amorphophallus muelleri Blume ini mudah dan minim perawatan. Daya adaptasinya tinggi, di antaranya dapat hidup normal di dataran rendah 2 mdpl hingga dataran tinggi 1.000 mdpl serta tahan naungan hingga 50%-60%.
 
“Karena tahan naungan dan sudah dibuktikan di mana-mana, bisa ditanam di bawah karet, intercropping (tumpeng sari) karet dan porang, di bawah sengon, tanaman hutan. Tanahnya yang penting subur. Artinya, harus diolah tanah untuk perkembangan umbinya,” urai Agus.
 
Perbanyakan porang juga mudah, melalui umbi, katak atau bulbil, stek daun, kultur jaringan, dan biji. Agus menekankan pentingnya memilih benih berkualitas bagus, yaitu yang sudah sempurna masa dormannya.
 
Salah satu benih berkualitas dari pemerintah ialah varietas Madiun 1. “Menggunakan katak kalau belum dorman, banyak nggak tumbuh,” ungkapnya, Sementara, hasil perbanyakan dengan stek dan kultur jaringan perlu penelitian lebih lanjut.
 
Kemudian, porang mudah diolahdan dapat disimpan. Olahan porang dalam bentuk rebusan umbi untuk dimakan, chips (irisan porang), tepung, dan ekstrak glukomanan.
 
“Glukomanan ini yang mahal harganya, jadi mi shirataki dan beras shirataki. Semua ini di Indonesia sudah ada meski belum banyak,” lanjutnya. Ia menyebut, yang membedakan dengan suweg, iles-iles, dan walur, terutama adalah kandungan glukomanan pada porang lebih besar, mencapai 50%-70%.
 
 
 
Untuk naskah selengkapnya silakan baca Majalah AGRINA Edisi 326 terbit Agustus 2021 atau dapatkan majalah AGRINA versi digital dalam format pdf di Magzter, Gramedia, dan Myedisi.

 
Agrina Update + Moment Update + Cetak Update +

Artikel Lain