Foto: Dok. AGRINA
Harga sawit masih kinclong sampai awal Juni 2021
Berkilaunya bisnis sawit sejak tahun lalu ternyata mampu bertahan sampai awal Juni 2021.
Komoditas andalan Indonesia ini masih menjadi penyumbang terbesar devisa. Tahun lalu, ketika pandemi Covid-19 mulai merebak, neraca perdagangan kita mengalami surplus sebesar US$21,72 miliar. Ekspor produk sawit menyumbang US$22,972 miliar.
Kuartal pertama 2021, neraca perdagangan Indonesia juga surplus, besarnya US$5,630 juta. “Kita lihat sektor migasnya defisit US$2,39 juta, nonmigas surplus US$8,020 juta, alhamdulillah sawit menyumbang US$8,412 juta,” ungkap Joko Supriyono, Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) dalam acara Buka Puasa Virtual Bersama GAPKI yang diikuti pengurus GAPKI, perwakilan asosiasi dan pakar terkait industri sawit, serta media massa (28/4).
Perkembangan bisnis selama April 2021 pun masih positif. Neraca perdagangan kita, menurut rilis Badan Pusat Statistik (BPS) 20 Mei 2021, sepanjang bulan itu surplus sebesar US$2,19 miliar. Jadi, total periode Januari – April 2021, surplus berjumlah US$7,72 miliar. Namun, data kontribusi sawit bulan terakhir sampai naskah ini diturunkan belum tersedia.
Produksi Naik, Harga Kinclong
Lebih jauh Joko memperbarui tentang perkembangan industri sawit. “Alhamdulillah operasional perkebunan sawit bisa berjalan normal. Tidak saja berjalan normal, tapi juga tidak seperti sektor lain yang ada PHK, perumahan karyawan, dan sebagainya, di industri sawit hal itu tidak terjadi. Di samping itu, sawit juga membukukan kinerja yang bagus sejak tahun lalu. Justru selama masa pandemi kita bisa memberikan kontribusi yang sangat signifikan buat perekonomian Indonesia. Ini tentu karena upaya kita semua,” ucapnya penuh syukur.
Normalnya operasional kebun juga berdampak baik terhadap produksi. Dari Februari ke Maret 2021, produksi minyak sawit naik cukup signifikan sampai 20%. Tapi kalau dilihat tahunan (year on year), kenaikannya hanya 1,6% (Lihat Statistik Industri Minyak Sawit Indonesia 2021).
Komoditas andalan Indonesia ini masih menjadi penyumbang terbesar devisa. Tahun lalu, ketika pandemi Covid-19 mulai merebak, neraca perdagangan kita mengalami surplus sebesar US$21,72 miliar. Ekspor produk sawit menyumbang US$22,972 miliar.
Kuartal pertama 2021, neraca perdagangan Indonesia juga surplus, besarnya US$5,630 juta. “Kita lihat sektor migasnya defisit US$2,39 juta, nonmigas surplus US$8,020 juta, alhamdulillah sawit menyumbang US$8,412 juta,” ungkap Joko Supriyono, Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) dalam acara Buka Puasa Virtual Bersama GAPKI yang diikuti pengurus GAPKI, perwakilan asosiasi dan pakar terkait industri sawit, serta media massa (28/4).
Perkembangan bisnis selama April 2021 pun masih positif. Neraca perdagangan kita, menurut rilis Badan Pusat Statistik (BPS) 20 Mei 2021, sepanjang bulan itu surplus sebesar US$2,19 miliar. Jadi, total periode Januari – April 2021, surplus berjumlah US$7,72 miliar. Namun, data kontribusi sawit bulan terakhir sampai naskah ini diturunkan belum tersedia.
Produksi Naik, Harga Kinclong
Lebih jauh Joko memperbarui tentang perkembangan industri sawit. “Alhamdulillah operasional perkebunan sawit bisa berjalan normal. Tidak saja berjalan normal, tapi juga tidak seperti sektor lain yang ada PHK, perumahan karyawan, dan sebagainya, di industri sawit hal itu tidak terjadi. Di samping itu, sawit juga membukukan kinerja yang bagus sejak tahun lalu. Justru selama masa pandemi kita bisa memberikan kontribusi yang sangat signifikan buat perekonomian Indonesia. Ini tentu karena upaya kita semua,” ucapnya penuh syukur.
Normalnya operasional kebun juga berdampak baik terhadap produksi. Dari Februari ke Maret 2021, produksi minyak sawit naik cukup signifikan sampai 20%. Tapi kalau dilihat tahunan (year on year), kenaikannya hanya 1,6% (Lihat Statistik Industri Minyak Sawit Indonesia 2021).
“Saya yakin akan naik lagi. Seasonal (secara musiman, Red.) kuartal dua (Q2) naik lagi. Q3 akan mengalami puncak lalu Q4 akan flat. Itu kalau normal, mudah-mudahan tidak ada cuaca ekstrem,” ungkapnya.
Lebih jauh alumnus Faperta UGM itu membahas tentang stok yang justru menurun lebih rendah dari akhir tahun lalu lantaran ekspor berlari kencang 62,7% dari Februari ke Maret. Dan karena stok yang ketat inilah dia menduga meskipun produksi naik sentimen harga masih naik.
Lebih jauh alumnus Faperta UGM itu membahas tentang stok yang justru menurun lebih rendah dari akhir tahun lalu lantaran ekspor berlari kencang 62,7% dari Februari ke Maret. Dan karena stok yang ketat inilah dia menduga meskipun produksi naik sentimen harga masih naik.
Harga rata-rata minyak sawit pada Maret 2021 sebesar US$ 1.116/ton CIF Rotterdam, lebih tinggi US$21 (1,9%) dari harga Februari 2021. Kenaikan harga tersebut disebabkan ketidakpastian tanam dan produksi biji-bijian penghasil minyak (oilseeds) sehingga mendongkrak permintaan minyak sawit lantaran produksinya lebih bisa terprediksi.
Harga sawit masih kinclong sampai awal Juni 2021. Pada periode 4 Januari – 2 Juni 2021, harga CIF yang dimuat di laman GAPKI memperlihatkan, yang paling rendah, yaitu US$945, terjadi pada 21 Januari.
Harga sawit masih kinclong sampai awal Juni 2021. Pada periode 4 Januari – 2 Juni 2021, harga CIF yang dimuat di laman GAPKI memperlihatkan, yang paling rendah, yaitu US$945, terjadi pada 21 Januari.
Sedangkan harga paling menjulang tercipta pada 29 April 2021, US$1.355 per ton. Kisaran harga ini lebih baik dari prediksi Togar Sitanggang, Wakil Ketua Umum III GAPKI, yang dikemukakannya pada webinar AGRINA Agribusiness Outlook 2021 (10/3).
“Harga Q1 US$1.000-US$1.100/ton sampai Maret. Harga Q2 tergantung kepada situasi soybean di AS dan situasi crude oil. Saya mungkin masih terlalu konservatif untuk melihat harga. Prediksi saya masih di US$900-US$1.000/ton,” ulasnya saat itu.
Banyak Tantangan
Sawit memang jadi andalan pengisi kocek negara melalui devisa yang didatangkannya. Namun industri ini menghadapi tantangan teknis dan nonteknis dari dalam dan luar negeri.
Salah satu tantangan teknis adalah datangnya musim kemarau yang bisa memicu kebakaran hutan dan lahan (karhutla), termasuk kebun sawit. Contoh kemarau panjang 2015 yang menyebabkan karhutla yang sangat dahsyat.
“Harga Q1 US$1.000-US$1.100/ton sampai Maret. Harga Q2 tergantung kepada situasi soybean di AS dan situasi crude oil. Saya mungkin masih terlalu konservatif untuk melihat harga. Prediksi saya masih di US$900-US$1.000/ton,” ulasnya saat itu.
Banyak Tantangan
Sawit memang jadi andalan pengisi kocek negara melalui devisa yang didatangkannya. Namun industri ini menghadapi tantangan teknis dan nonteknis dari dalam dan luar negeri.
Salah satu tantangan teknis adalah datangnya musim kemarau yang bisa memicu kebakaran hutan dan lahan (karhutla), termasuk kebun sawit. Contoh kemarau panjang 2015 yang menyebabkan karhutla yang sangat dahsyat.
Berdasarkan Undang-undang 39/2014 tentang Perkebunan, perusahaan perkebunan sawit wajib memiliki sistem dan sarana prasarana pengendalian karhutla. Demikian pula Undang-undang 41/1999 tentang Kehutanan menyatakan, pemegang hak bertanggung jawab atas kebakaran yang terjadi di areal kerjanya.
Untuk naskah selengkapnya silakan baca Majalah AGRINA Edisi 324 terbit Juni 2021 atau dapatkan majalah AGRINA versi digital dalam format pdf di Magzter, Gramedia, dan Myedisi.
Untuk naskah selengkapnya silakan baca Majalah AGRINA Edisi 324 terbit Juni 2021 atau dapatkan majalah AGRINA versi digital dalam format pdf di Magzter, Gramedia, dan Myedisi.