Selasa, 2 Maret 2021

PERIKANAN : Urun Rembug Membangun Akuakultur

PERIKANAN : Urun Rembug Membangun Akuakultur

Foto: Windi Listianingsih
Rumput laut menjadi komoditas unggulan ekspor akuakultur Bersama bersama udang dan lobster

Perlu waktu dan keterlibatan berbagai pihak untuk mengembangkan lobster di Indonesia.


Ada 2 terobosan untuk mendorong akuakultur atau perikanan budidaya sebagai kekuatan pembangunan perikanan nasional.
 
Pertama, menggerakkan akuakultur untuk meningkatkan ekonomi masyarakat didukung riset. Kedua, mengembangkan kampung akuakultur berbasis kearifan lokal.

Terbososan pertama, ujar Sakti Wahyu Trenggono, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) fokus pada ekspor produk bernilai ekonomi tinggi, yaitu udang, lobster, dan rumput laut. Terobosan kedua, pengembangan budidaya dengan konsep corporate farming (korporasi budidaya).

Menteri Kelautan dan Perikanan itu menjelaskan, pengembangan udang dengan shrimp estate. Konsep ini melibatkan pemerintah melalui pembangunan infrastruktur yang mendukung tersedianya sumber air dan instalasi pengolahan air limbah (IPAL).
 
Lobster tropis lewat korporasi budidaya dan membuat kawasan budidaya lobster untuk mengangkat ekonomi pembudidaya dan masyarakat lokal.

Rumput laut dikembangkan melalui pembinaan dan sosialisasi dengan aplikasi bibit kultur jaringan, pembangunan kebun bibit, penyaluran penjemuran rumput laut, penyediaan gudang dengan sistem resi gudang, dan pembangunan pabrik pengolahan untuk mendorong ekspor produk turunan. Bagaimana respon para stakeholder akuakultur?


Komoditas Unggulan

Rokhmin Dahuri, Ketua Umum Masyarakat Akuakultur Indonesia (MAI) merespon positif terobosan KKP. Namun, ia menyarankan menambah 4 komoditas unggulan berupa kerapu, kakap putih, kepiting, dan nila.
 
“Karena permintaan internasional tinggi sekali. Empat komoditas itu sama seperti udang vaname, kita cukup juara. (Ekspor) kalau nggak rangking 2 ya 1,” ucapnya pada Temu Stakeholders Akuakultur, Selasa (2/3).

Wayan Sudja, Ketua Asosiasi Budidaya Ikan Laut Indonesia (Abilindo) sepakat. “Lobster pasarnya hanya 325 ribu ton/tahun, udang 3,5 juta ton, kepiting 3,7 juta ton. Saya dukung usulan Ketua MAI agar kepiting, kerapu, kakap putih, dan nila jadi masukan komoditas unggulan. Membatasi 3 sama saja dengan membatasi lapangan pekerjaan, devisa, dan produksi protein kita,” serunya di acara yang diselenggarakan MAI itu.

Meski punya benih terbesar sedunia, Effendi Wong, Ketua Himpunan Pengusaha Ikan Laut Indonesia (Hipilindo) menuturkan, memajukan lobster perlu waktu dan dukungan banyak pihak. Ia menekankan pentingnya aturan yang jelas dan tidak tumpang-tindih agar investor mau menanam modal. “Ini yang jadi kendala karena aturannya nggak terlalu jelas di Indonesia,” keluhnya.


Regulasi

Tidak jelasnya aturan sangat dirasakan para pembudidaya. Andi Tamsil dari Schrimp Club Indonesia (SCI) mengungkap, ada 21 regulasi yang harus diselesaikan petambak udang sebelum beroperasi.
 
“Regulasi kita sangat banyak, relatif lama, susah, berbelit-belit dan mahal. Itu keluhan yang paling menonjol di budidaya. Regulasi ada di beberapa kementerian: KKP, PUPR, KLHK, di daerah provinsi dan kabupaten/kota,” jelasnya.

Safari Azis dari Asosiasi Rumput Laut Indonesia (ARLI) mengeluhkan kewajiban sertifikat kesehatan oleh KKP untuk ekspor rumput laut.
 
Padahal, importir hanya meminta sertifikat fitosanitari yang ada di Kementerian Pertanian (Kementan). Ia meminta KKP bekerja sama dengan Kementan untuk memudahkan pembuatan dokumen tersebut.

Wayan mengkritisi PermenKP No. 12/2020 yang menarik kembali perizinan budidaya lobster dan kepiting ke pusat. Ini akan menambah beban pelaku usaha dari sisi waktu, tenaga, dan biaya untuk perizinan.
 
“Bisa online tapi selalu ribet dan kalau ada masalah, selalu nggak jelas, jalan buntu. Ini harus diberesin. Pemerintah jangan terlalu banyak regulasi yang menghambat,” sarannya.

Esther Satyono, CEO PT Indonesia Mariculture Industries menilai peraturan KKP belum memihak pengusaha. “Aturannya pindah-pindah terus, tidak ramah dengan pengusaha,” sindirnya.
 
Pembudidaya kakap ini juga mengeluhkan besarnya biaya logistik. Kendati harga jual cukup baik, harga pakan dan biaya logistik di luar kendali.

“Yaitu, bahan logistik dari ikan yang sudah selesai dan bahan yang masuk ke pulau, harusnya 5%-7%, mencapai 12-15%. Apalagi kalau harus diterbangkan via udara, itu 25% dari nilai ikannya. Angka-angka ini sangat memberatkan kami sebagai pelaku budidaya, kecuali skala industri,” ungkapnya.


Sarana Produksi

Sarana produksi, seperti induk, benur, dan pakan mengambil peran penting dalam akuakultur. Ketersediaan sarana produksi berkualitas, terjangkau, dan berkelanjutan menjadi catatan penting para pelaku usaha akuakultur.

Budidaya udang masih tergantung benur impor. Walaupun KKP sudah merilis varietas Vannamei Nusantara 1 tapi Andi menilai belum cukup. SCI berharap, benur yang beredar betul-betul berkualitas dan bersertifikat.
 
“Perlu ada pengawasan yang ketat karena sekarang banyak juga hatchery yang menggunakan induk lokal,” bukanya. Benih yang tidak terjaga kualitasnya ini pun memicu kehadiran penyakit.

Efendi menguraikan, benih kakap putih yang beredar di masyarakat bukanlah kualitas unggul sehingga biaya produksinya tinggi.
 
“(Budidaya) kakap putih masih high cost, utama dari benih unggul, termasuk vaksinasi belum tersedia dengan baik sehingga SR (survival rate) terlalu rendah sehingga HPP (harga pokok produksi) tinggi,” katanya.

Bahan baku pakan baik pabrikan maupun pakan mandiri juga mengandalkan impor. Harris Muhtadi, Ketua Gabungan Perusahaan Makanan Ternak (GPMT) mengungkap, impor bahan baku pakan karena alasan konsistensi mutu dan produksi, ketersediaan, serta efisiensi harga.
 
Bahan baku lokal yang digadang bisa menganti impor, seperti tepung kelor, tepung serangga, hingga magot belum memenuhi syarat tersebut. Namun, pihaknya membuka kolaborasi dengan lembaga riset pemerintah dan akademisi untuk pengembangan pakan berbahan baku lokal.

Budhi Wibowo, Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Pengolahan dan Pemasaran Produk Perikanan (AP5I) mengakui tingginya HPP produk akuakultur, seperti kerapu dan kakap putih yang menyulitkan bersaing dengan negara lain.
 
“Sementara ini baik grouper (kerapu), kakap, bedanya dari Malaysia dan Vietnam sekitar Rp10 ribuan/kg lebih mahal. MAI saya harapkan bisa menurunkan HPP ikan-ikan budidaya, misalnya dengan induk unggul, pakan spesifik. Kalau HPP nggak beda jauh, bisa kok,” jelasnya.

HPP udang lebih tinggi dari produsen pesaing tapi bisa masuk pasar karena dijual dalam produk beku bernilai tambah ready to eat (siap makan) dan ready to cook (siap masak).
 
Produk beku ini pasarnya sangat besar api ada kelemahannya, yaitu sensitive harga.
 
“Artinya, banyak pesaingnya. Harga beda 10-20 sen, pembeli bisa pindah ke tempat lain,” imbuhnya.

Sementara, Komunitas jejaring inovasi digital perikanan (Digifish Network) meminta KKP mulai fokus ke inovasi dan digitalisasi untuk memperkuat pembangunan akuakultur.
 
Kedua unsur ini, ulas Rully S. Purnama, penggagas Digifish, bisa digulirkan dalam bantuan pemerintah selain bantuan sarana produksi.
 
Digifish mengharapkan umpan balik pemerintah dan pelaku usaha terhadap setiap produk inovasi yang diluncurkan startup akuakultur.

Terakhir, Rully mengundang investor lokal untuk berinvestasi di startup akuakultur Indonesia. “Kalau tidak, kesempatan ini akan diambil investor dari luar. Kalau mau bangga buatan Indonesia, ini waktunya mendukung startup indoensia,” tandasnya.  



Windi Listianingsih

 
Agrina Update + Moment Update + Cetak Update +

Artikel Lain