Selasa, 2 Maret 2021

PERKEBUNAN : Peluang Besar Para Penangkar

PERKEBUNAN : Peluang Besar Para Penangkar

Foto: Dok. AGRINA
Program PSR membuka peluang bisnis bibit sawit

Peremajaan Sawit Rakyat (PSR) membutuhkan 36 juta bibit. Sebanyak 62%-nya diestimasikan dipenuhi melalui penangkar. Siapkah mereka?


Berkilaunya harga minyak sawit mentah (crude palm oil-CPO) sejak Juni 2020 sampai terbang di atas US$1.000/ton tahun ini mempengaruhi bisnis benih. Hal ini terungkap dalam webinar “Benih Sawit Outlook 2021” yang digelar Gamal Institute (5/3).


Harapan dari PSR

Indonesia adalah produsen sekaligus konsumen terbesar kelapa sawit di dunia. Luas kebunnya lebih dari 16,38 juta ha.
 
Menurut Suroso Rahutomo, setiap tahun 5% luas kebun itu yang setara 819 ribu ha perlu diremajakan.
 
Jadi, General Manager Satuan Usaha Strategis Bahan Tanaman di Pusat Penelitian Kelapa Sawit (PPKS) Medan tersebut menghitung, pasar benih sawit nasional sekitar 164 juta butir/tahun.

Indonesia juga produsen benih terbesar di dunia. Forum Kerjasama Produsen Benih Kelapa Sawit (FKPBKS) yang diketuai Dwi Asmono mencatat, 19 perusahaan anggota forum berpotensi memproduksi 250 juta benih.
 
“Sistem perbenihan sawit Indonesia benar-benar traceable dan terukur. Pelepasan varietasnya regulatif tapi tidak kehilangan sisi scientific-nya. Semua produsen memenuhi sertifikasi ISO 9001:2004. Total varietas saat ini ada 58. Planting material-nya sudah mewakili yang ada di seluruh dunia,” ungkap Dwi bangga.

Bicara pasar benih, Direktur PT Binasawit Makmur itu mengatakan, salah satu penggeraknya adalah Program PSR yang didanai Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) sejak 2016. “Realisasi PSR sampai 2020 belum memenuhi target tapi paling tidak angka 2020 sangat bagus,” komentarnya.

Menurut BPDPKS, sampai 2020 total kebun yang telah diremajakan 200.205 ha. Tahun ini targetnya seluas 180 ribu ha dengan alokasi dana Rp5,567 triliun. Untuk meremajakan 180 ribu ha paling tidak butuh 36 juta benih.
 
“Estimasi kami, benih yang ditangani penangkar akan mencapai 62%. Jadi, kami sangat berharap penangkar bibit sawit betul-betul bisa memastikan seed material ditangani dengan baik,” ulasnya.


Iming-iming Harga Miring

Suroso mencermati, sepanjang 2011-2020 penyaluran benih resmi cenderung turun, baru naik kembali pada 2020. Total benih yang tersalur 1,02 miliar butir setara 5,12 juta ha. Namun, data peningkatan luas lahan menunjukkan 7,39 juta ha.

“Ada selisih 2,27 juta ha atau 450 juta benih yang bisa dipertanyakan dari mana. Dengan rata-rata 45 juta butir/tahun mengalahkan pangsa PPKS yang tahun lalu 31,2 juta butir. Ini luar biasa dan jadi PR bersama karena mulai 2021 kita berharap tidak ada lagi benih ilegal,” tegasnya.

Hasil survei PPKS menguatkan fakta masih banyak petani menggunakan bibit ilegal di Aceh, Bengkulu, dan Sumbar, masing-masing 22%, 28%, dan 63%. Yang menarik, di Sumut tempat beroperasinya 6-7 produsen benih, 86% petani masih menanam benih ilegal dari sapuan brondolan atau beli kecambah dari tandan buah segar di lapang.
 
“Alasan klasiknya, mereka tidak tahu bahwa mereka bisa mendapatkan benih dalam jumlah sedikit melalui produsen benih resmi,” ulasnya miris.

Memang tidak setiap produsen benih memiliki fasilitas pembibitan. Karena itu, mereka mengandalkan para penangkar membesarkan kecambah sampai jadi bibit siap salur. Peluang besar Program PSR memantik tumbuhnya para penangkar baru dan penangkar abal-abal.
 
Mereka membujuk petani dengan harga miring sehingga banyak petani terjebak membeli bibit ilegal yang tak jelas asal dan performanya.
 
Padahal, imbuh Suroso, besaran investasi untuk benih hanya 5% tapi menentukan performa produkvitas hingga 50%. Parahnya, kasus ini masih saja terjadi sampai sekarang walaupun sudah ada pelaku yang dihukum.

Ihwal benih ilegal dipaparkan dengan gamblang oleh H. Badaruddin Puang Sabang dan Rusbandi, Ketua dan Sekjen Perkumpulan Penangkar Benih Tanaman Perkebunan Indonesia.
 
Mereka mengakui, keragaman bibit di level penangkar sangat tinggi karena tidak ada standar proses pembibitan, sarana pembibitan, kompetensi, dan produk.

“Kami bersama PPKS pernah mengusulkan perbaikan standar proses pembibitan dalam sebuah forum kepada Direktorat Perbenihan. Harapan kami, standar proses ini digunakan semua penangkar, baik yang lama, baru, abal-abal, atau yang benar-benar profesional.
 
Namun sampai sekarang usulan ini belum pernah menjadi ketetapan. Padahal kalau itu sudah ditetapkan, semua penangkar mengacu ke sana maka unit biaya produksi akan sama. Penangkar abal-abal cenderung menggunakan standar cost seadanya sehingga kualitas bibit seadanya jadi berbiaya murah,” jelas Rusbandi.

Belum lagi ada oknum ketua kelompok tani penerima dana PSR yang meminta cashback kepada penangkar. Penangkar baru atau abal-abal cenderung jor-joran memberikannya.
 
Akhirnya, penangkar profesional yang membesarkan benih legal dikalahkan para pemberi “angpao”. Padahal, tujuan PSR mengganti tanaman petani dengan benih unggul bersertifikat.

Perbaikan berikutnya adalah standar kompetensi para penangkar berdasarkan standar proses pembibitan. “Kami minta forum (FKPBKS) untuk mendidik kami teknis pembibitan yang benar baru kemudian kami disertifikasi oleh Lembaga Sertifikasi Profesi. Lalu, kami, para penangkar menuntut ke pemerintah agar standar kompetensi menjadi syarat, baik untuk penyaluran ke PSR maupun syarat usaha pembibitan kelapa sawit,” lanjutnya.

Para penangkar juga minta Balai Pengawasan dan Pengujian Mutu Benih (BP2MB) diakreditasi dan dalam menjalankan fungsinya diawasi secara sistem dengan audit internal dan eksternal. Pasalnya, pada 2019 ada 110 ribu benih sawit ilegal disertifikasi BP2MB. “Ini kejahatan yang luar biasa. Diedarkan untuk kepentingan rakyat disalurkan dengan dana pemerintah!” sergah Rusbandi.

Sementara Badaruddin menekankan, BPDPKS dan pemerintah memperbaiki anggaran dana PSR. Karena pembibitan sawit butuh waktu 12 bulan, jangan sampai terjadi perubahan alokasi dana di tengah jalan sehingga merugikan para penangkar seperti kasus bibit kopi dan kakao yang bikin tekor hingga Rp4 miliar.


Usulan Solusi

Gamal Nasir, pendiri Gamal Institute mengusulkan para penangkar menjadi anggota para produsen. Tujuannya agar tidak ada lagi bibit yang tidak jelas sumbernya.

Dwi menyanggupi permintaan para penangkar untuk memberikan edukasi tentang standar pembibitan yang baik dan benar. Pihaknya juga mendukung penerapan QR code untuk memastikan penangkaran sebagai bagian dari sistem produksi benih yang diusulkan Hindarwati Sudjatmiko, Sekjen Masyarakat Perbenihan dan Perbibitan Indonesia.
 
Terakhir, verifikasi DNA bibit dilaksanakan produsen untuk menyeleksi para penangkar. “Kita bisa pastikan benih yang keluar dari penangkar benar-benar representatif secara genetik, fisiologi, fisik seperti diinginkan  produsen,” pungkasnya.



Peni Sari Palupi, Windi Listianingsih

 
Agrina Update + Moment Update + Cetak Update +

Artikel Lain