Senin, 2 Nopember 2020

Prof. Dr. Ir. Erliza Hambali, M.Si., Ratu Peneliti Hilir Sawit

Prof. Dr. Ir. Erliza Hambali, M.Si., Ratu Peneliti Hilir Sawit

Foto: Dok. Pribadi
“Kalau buat sesuatu, akan tahu ide itu bagus atau nggak. Kalau nggak mencoba, kita nggak pernah tahu.”

Diskusi dengan industri mendukung riset sesuai kebutuhan pasar.


Nama Prof. Dr. Ir. Erliza Hambali, M.Si., Guru Besar Teknik Industri Pertanian, IPB University, tidaklah asing di kalangan pelaku agribisnis sawit. Banyak penelitiannya yang membuka peluang pasar hilir sawit. Seperti apa kisah Ratu Peneliti Hilir Sawit ini mengenal si “emas cair”?


Nilai Tambah

Erliza menuturkan, mulai meneliti sawit alias si emas cair untuk diolah menjadi surfaktan pada 1998. Kala itu belum banyak yang meneliti surfaktan. Mulanya, ia bersama rekan dosen menelusur produk hilir berupa minyak atau lemak yang bernilai tambah tinggi.
 
Dari literatur dan diskusi, Erliza serta rekan memilih mengembangkan surfaktan karena aplikasinya beragam. “Surfaktan ini fungsinya bisa emulsifier dan kadang bisa memberi busa atau sebagai pembersih,” katanya kepada AGRINA.

Surfaktan umumnya berasal dari minyak bumi. Erliza dan tim mencari sumber lain. Mengingat Indonesia sebagai produsen sawit dan kelapa kedua dunia setelah Malaysia dan Filipina, pertimbangan jatuh pada kedua komoditas itu.
 
“Kami lihat harga minyak kelapa dibandingkan minyak sawit waktu itu lebih murah minyak sawit. Kami berpikiran pakai sawit aja karena bahan bakunya lebih murah, otomatis produk jadinya juga akan lebih murah,” terangnya.

Apalagi, lahan sawit saat itu lebih luas daripada kelapa. Inti dan sabut sawit juga menghasilkan minyak sedangkan sabut kelapa tidak. “Kami nggak tahu bahwa sawit akan berkembang sangat pesat seperti saat ini.
 
Waktu itu kami lihat luas, produksi, harganya,” imbuh pendiri Surfactan & Bioenergy Research Center (SBRC) IPB ini. Harga surfaktan pun berkali lipat lebih mahal daripada minyak goreng. Maka, sawit menghasilkan nilai tambah lebih tinggi ketika diolah jadi surfaktan.

Riset lanjutan menunjukkan aplikasi surfaktan lebih luas lagi. “Bisa sebagai perekat di pestisida, herbisida, insektisida. Bisa aplikasi untuk sabun, pembersih, detergen, di personal care product (produk perawatan pribadi). Banyak sekali ternyata. Jadi, pilihan kami pas,” ulas perempuan kelahiran Padang, Sumbar, 21 Agustus 1962 ini senang.


Tantangan

Erliza mengaku sangat berkesan memulai riset surfaktan. “Orang banyak yang belum tahu. Jadi, sedikit-sedikit kami mengenalkan surfaktan. Di Kementerian Perindustrian juga begitu, tahun 2000 belum paham dan mengerti tentang surfaktan. Kami diminta menjelaskan,” buka peneliti inovatif yang meraih berbagai penghargaan nasional itu.

Selama ini penelitian yang dilakukan didukung banyak pihak, khususnya industri. “Industri sawit malah senang. Oh, ternyata banyak yang bisa dikembangkan dari sawit,” ujarnya menyuarakan industri.
 
Ia juga tidak sulit mencari ide penelitian karena senang diskusi dengan kalangan industri. “Ide itu akan banyak kalau kita berinteraksi dengan industri. Banyak-banyak punya teman di industri karena mereka yang tahu riset apa yang dibutuhkan,” pesannya.

Namun, penelitian bukan berarti tanpa tantangan. Menurut pemilik 7 paten dan 12 register itu, tantangan terbesar peneliti sebenarnya klasik. Yaitu, keterbatasan dana dan waktu penelitian.
 
Dana riset di luar negeri cukup besar dan waktunya minimal 5 tahun. Sedangkan, dana riset di Indonesia sekitar ratusan juta hingga Rp2 miliar dengan waktu 2–3 tahun.

“Masalahnya, dana riset dari kementerian tidak boleh dipakai beli alat. Sementara, alat di lab sudah tua. Untuk menghasilkan penelitian yang baik, alat labnya juga harus baik, harus up to date (terkini). Nah, tantangan meneliti di situ,” sahut Wakil Ketua Ikatan Ahli Bioenergi Indonesia ini.

Padahal, ia punya target mengganti produk hilir berbasis petrolium menggunakan sawit. “Karena produksi sawit kita kalau digabung CPO (crude palm oil) dan PKO (palm kernel oil) saat ini sudah 53 juta ton/tahun. Minyak goreng hanya butuh CPO 5,5 juta ton/tahun. Jadi, banyak sekali sisanya yang bisa dikembangkan lebih lanjut sehingga nilai tambahnya bisa dimanfaatkan masyarakat Indoensia,” paparnya.


Hal Baru

Tidak hanya aktif meneliti, Erliza juga senang mendukung mahasiswa membangun bisnis dari risetnya. Perusahaan yang dibangun berkat dukungan Erliza, yaitu PT Adev Natural Indonesia, PT Liza Herbal International, PT Erliza Cokelat Factory, dan PT Sukaraja Pangan Utama.
 
Perlahan, usaha yang dirintis mahasiswanya tumbuh. “Sekarang mereka sudah berkembang, pegawainya banyak, 250 orang. Baguslah perkembangannya,” ia mencontohkan PT Adev.

Ia percaya penuh pada alumni tersebut. “Saya senang hasil riset dikomersialkan oleh alumni. Saya berpikir dari 10 yang dibuat, sukes satu saja sudah bagus. Jadi, saya selalu mendukung kalau ada mahasiswa yang punya ide, baik penelitian dia sendiri maupun yang saya lakukan,” ucap dosen yang suka membaca buku dan novel ini.

Selain riset di lab, Erliza gemar pula membuat aneka masakan. Kue-kue hasil percobaan lantas dijajakan di toko kue miliknya. Jika pelanggan suka, asisten toko akan menduplikasi resep itu.
 
“Senang mencoba resep-resep baru, bikin kue-kue. Senang seperti itu sampai saya bikin toko kue dijalankan sama orang, saya risetnya,” sambung ibu 3 anak itu semringah.

Ia mengaku tidak suka mengerjakan hal rutin karena khawatir bosan. “Kalau mengerjakan hal yang sama tiap hari, semangatnya hilang. Maunya ngerjakan sesuatu yang baru terus ditekunin. Kalau sudah berhasil, senang,” dia menimpali.
 
Syukurlah, riset selalu mencari hal baru. “Masuk lab nggak jenuh karena hal baru dan kita penasaran. Topik ini sudah selesai, pindah topik lain atau melanjutkan yang lain. Jadi, sesuatu yang baru yang kita belum tahu. Karena belum mengerti jadi pingin belajar terus,” serunya ceria.


Keluarga

Erliza mengungkap, kesuksesan dalam riset mendapat dukungan penuh keluarga, khususnya suami tercinta, Dr. Ir. Hasan Hambali, MM. “Suami membebaskan saya ngapain saja. Nyoba ini-itu ‘kan perlu dana, dia selalu mendukung. Jadi, apapun yang dibikin itu selalu dibilang bagus, lanjutkan saja,” terang ibu RH Puspita Agriloka, RH Mega Andika, dan RH Gelania Andini ini bahagia.  

Anak-anak yang sering bertanya tentang riset pun memacu semangatnya. “Dengan pertanyaan sederhana jadi mikir harus bikin apa lagi,” cetusnya. Ini juga cara Erliza membangkitkan keingintahuan anak membuat sesuatu.
 
“Kalau ingin menghasilkan sesuatu, tidak mudah. Kadang ada stresnya, ada air mata, ada darahnya. Harus ada pengorbanan. Jadi, ingin memberi tahu dengan contoh bahwa kalau ingin menghasilkan sesuatu, harus ada usaha dan kerja keras,” urainya.

Selain itu, pesan Erliza, ide yang dimiliki harus direalisasikan. “Kalau cuma ngomong saja, ‘kan nggak tahu ide itu bagus atau nggak. Kalau buat sesuatu, akan tahu ide itu bagus atau nggak. Kalau nggak mencoba, kita nggak pernah tahu,” tandas peneliti yang gemar menonton film-film ringan itu.



Windi Listianingsih

 
Agrina Update + Moment Update + Cetak Update +

Artikel Lain