Kamis, 2 Juli 2020

Harry Yuli Susanto, Mengangkat Harkat Petambak Tradisional

Harry Yuli Susanto, Mengangkat Harkat Petambak Tradisional

Foto: Dok. Pribadi
“Kita masuk dengan masalahnya, mendukung dengan cara yang bisa kita kerjakan.”

komunikasi antrapetani menjadi kunci.

Siapa bilang petambak udang skala kecil sulit diatur dan tidak mau maju? “Mereka sebenarnya ingin berubah tapi tidak punya kapasitas yang mendukung jadi perlu ditemani, perlu digandeng,” ungkap Harry Yuli Susanto, Direktur PT Alter Trade Indonesia (ATINA), unit pengolahan dan eksportir udang dan ikan beku di Sidorajo, Jatim.
 
Harry pun membuktikannya. Melalui ATINA, ia sukses menggandeng pembudidaya udang windu tradisional memenuhi standar pasar internasional. Bagaimana lika-liku Harry menemani para petambak kecil membangun kesejahteraan?


Adaptasi Pasar

Dua puluh tahun sudah Harry berinteraksi dengan pembudidaya windu skala kecil. Pria asli Bondowoso, Jatim itu mengaku tidak mudah mengubah kebiasaan pembudidaya yang lahir dan besar di tambak.
 
Apalagi, pembudidaya di Sidoarjo yang bekerja sama dengan ATINA adalah petambak tua. Mereka, ungkapnya, “Generasi penarik kerbau yang pernah berjaya dengan udang windu di awal 90-an. Tantangannya bagaimana mereka bisa beradaptasi dengan kebutuhan pasar.”

Udang windu mayoritas dibudidaya petambak kecil, bersifat tradisional dan sangat bergantung alam sehingga produktivitasnya rendah, sekitar 300-500 kg/ha, serta memiliki lahan warisan orang tua atau sewa.
 
ATINA mempertahankan budidaya tradisional yang selaras alam dengan sistem pengawasan tertelusur sejak budidaya hingga pengolahan.
 
“Untuk memperkuat ramah lingkungan, kami bentuk internal control system (sitem pengawaan internasl) untuk membuktikan ini loh organik. Kita telusur mulai dari awal, panen, sampai ending product (produk akhir) bisa terhubung semua. Itu nggak gampang dengan petani skala kecil,” terangnya.

Apalagi, para petambak tradisional itu juga menghadapi tantangan produktivitas yang semakin menurun. Harry memberi wawasan berbeda dengan menghadirkan ahli atau memfasilitasi tukar pengalaman antarpetani.
 
“Karena yang saya temukan itu komunikasi antrapetani menjadi kunci,” jelas pria kelahiran 30 Juli 1976 ini.
 
Menghadapi banyak orang berbeda-beda karakter dengan berbagai permasalahan perlu menggandeng tokoh pembudidaya.
 
Karena, sesama pembudidaya akan lebih mudah menjalin komunikasi dan saling menghargai.

Menurut Direktur Supply Asosiasi Pengusaha Pengolahan dan Pemasaran Produk Perikanan Indonesia (AP5I) itu, para pembudidaya tradisional sebenarnya ingin berubah lebih baik tetapi tidak memiliki kapasitas.
 
Karena itu, mereka butuh mitra pendukung. “Kita masuk dengan masalahnya, mendukung dengan cara yang bisa kita kerjakan,” sambung Harry yang gemar mengonsumi bakso dan satai.

Petambak pun kerap datang meminjam uang untuk modal budidaya. Awalnya Harry memberi pinjaman tapi tidak kembali sehingga tidak diteruskan.
 
“Bukannya saya tidak mau membantu tapi kita berupaya dengan mencari jalan lain,” cetusnya. Misal saat petambak kesulitan mendapat benur, ia menghubungkan dengan pembenih tanpa intervensi. “Kita menjembatani supaya mereka merasa budidaya tidak sulit,” kata ayah 2 anak ini.


Sertifikasi Petambak Kecil

Harry menyoroti sertifikasi budidaya udang untuk petambak skala kecil yang cukup memberatkan. Sertifikasi seperti Aquaculture Stewardship Council (ASC) dan Best Aquaculture Practices (BAP), tuturnya, hampir tidak mungkin diterapkan petambak kecil karena perbedaan sistem budidaya dan besarnya biaya sertifikasi.
 
Sertifikasi ASC dan BAP berkiblat pada budidaya udang sistem intensif sehingga persyaratannya cukup menyulitkan petambak tradisional. Sebagai contoh, ASC mengharuskan cek kualitas air budidaya setiap pekan. “Kalau petani skala kecil boro-boro mau ngecek, mereka mau dapat uang dari mana, alat dari mana?” bebernya.

Belum lagi tambak yang disertifikasi mencapai 10%. Dengan produktivitas udang yang rendah sementara kepemilikan lahan luas, biaya audit tentu sangat besar dan berat buat para pembudidaya kecil.
 
Karena aturan ASC berifat mandatori, tentu pembudidaya bisa gagal sertifikasi kalau ada persyaratan yang tidak dipenuhi. Jika biaya sertifikasi dibebankan pada unit pengolahan ikan (UPI), akan menambah beban produksi. Dampaknya, olahan udang yang dihasilkan tidak kompetitif.

 

Untuk naskah selengkapnya silakan baca Majalah AGRINA Edisi 313 terbit Juli 2020 atau dapatkan majalah AGRINA versi digital dalam format pdf di Magzter, Gramedia, dan Myedisi.

 
Agrina Update + Moment Update + Cetak Update +

Artikel Lain