Kamis, 2 April 2020

PERIKANAN : Menjaga Geliat Pasar Udang Nasional

PERIKANAN : Menjaga Geliat Pasar Udang Nasional

Foto: Windi Listianingsih
Permintaan udang untuk pasar retail tetap berjalan di saat “badai” corona

Distribusi ikan dan udang dari tambak, pengolah, dan konsumen harus berjalan lancar meski lockdown di beberapa daerah. 
 
 
Ekspor udang Indonesia terus meningkat setiap tahun. “Kita naik sekitar 3% per tahun, tumbuh. Tahun 2019 khawatir turun karena awal tahun banyak masalah tapi akhir tahun ada peningkatan ekspor yang agak luar biasa,” papar Budhi Wibowo, Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Pengolahan dan Pemasaran Produk Perikanan Indonesia (AP5I).
 
Dengan kehadiran badai COVID-19, bagaimana industri udang nasional berjalan?
 
 
Permintaan dan Penawaran
 
Iwan Sutanto, Ketua Chrimp Club Indonesia (SCI) menjelaskan, suplai udang dunia sekitar 4,8 juta ton. “Produksi dan konsumsi sama sebetulnya dan konsumsi meningkat tiap tahun. (Permintaan) Amerika tetap tapi China meningkat luar biasa dan Eropa,” ulasnya.
 
Tahun lalu China mengimpor udang 700 ribu ton dari Ekuador dan India sedangkan suplai dari Indonesia hanya 10 ribu ton. Ia mengkhawatirkan pasar China yang lesu karena virus SARS-CoV-12.
 
“Tahun ini 700 ribu ton diimpor dari Ekuador dan India juga. Pasarnya yang dijual ke China saat ini shut down (tutup) 50%, akan masuk ke pasar-pasar tradisional Indonesia: Amerika, Jepang, dan Uni Eropa. Sangat perlu bikin program nasional supaya ada perhatian khusus,” pintanya. 
 
Budhi membenarkan dampak COVID-19 alias penyakit corona yang sudah terasa pada industri perikanan nasional. “Sekarang ini ekspor ke China untuk produk perikanan menurun tinggal 30% sejak setelah imlek, 25 Januari. Padahal, China sudah menjadi pangsa pasar produk perikanan kedua, sudah nyalip Jepang,” imbuhnya kepada AGRINA. 
 
Apalagi, China merupakan pasar udang yang paling besar. Karena China mengurangi impor, tentu suplai udang Ekuador dan India ke pasar lain akan bentrok dengan Indonesia.
 
“Harga udang Ekuador turun sekitar 20%-25% pasti akan berefek ke Indonesia. Harga internasional turun ya harga lokal turun,” katanya.
 
Selama ini Ekuador mengekspor udang utuh berkepala (head-on) dan tanpa kepala (headless) karena mahalnya biaya tenaga kerja sehingga akan bersaing dengan udang headless dan head-on Indonesia.
 
Sementara, India bersaing langsung dengan kita karena sama-sama menyuplai udang utuh dan kupas. 
 
Mengutip data Kementerian Perikanan dan Kelautan, Budhi menyebut, udang mendominasi ekspor perikanan nasional dengan nilai US$1,72 miliar pada 2019 atau sekitar 40%.
 
Lalu diikuti tuna, tongkol dan cakalang sebanyak 15%, cumi, sotong, gurita 11%, rajungan, kepiting 8%, rumput laut 7%, nila 1%, dan lainnya 23%.
 
Sedangkan, negara tujuan ekspor adalah Amerika senilai US$1,83 miliar atau 37%. China menyalip di posisi kedua dengan nilai US$0,83 miliar atau 17%.  Jepang menjadi posisi ketiga senilai US$0,67 miliar atau 13%. 
 
 
Pasar Global dan Lokal
 
Merebaknya corona ke seluruh dunia membuat pasar global tertekan. Budhi mengakui, penjualan udang ke pembeli yang pasarnya food service (hotel, restoran, katering atau horeka), menurun tapi penjualan ke pasar retail berjalan lancar.
 
Meski begitu, Unit Pengolahan Ikan (UPI) anggota AP5I masih aktif beroperasi. “UPI yang penjualannya ke pembeli yang pasarnya food service, menurunkan jumlah pembelian udang tetapi masih kerja. Mereka terus berupaya untuk menjual ke pembeli lainnya,” terangnya.
 
Melihat perkembangan China yang beranngsur membaik paskacorona, memunculkan harapan. Kendati belum bisa memastikan, Budhi menuturkan, perekonomian China akan pulih dan membeli udang lagi dalam jumlah banyak.
 
Adanya lockdown di India juga memungkinkan suplai dari negeri anak benua itu berkurang. Hal ini menjadi kesempatan Indonesia menambah pasar, setidaknya menggantikan pasar food service yang berkurang.
 
“Cukup banyak UPI yang masih optimis bisa melakukan penjualan sehingga tetap membeli bahan baku, asalkan pemerintah tetap memperbolehkan UPI bekerja,” harapnya. 
 
Terlebih, suplai udang dari pembudidaya masih normal walau harga turun mengikuti penurunan harga internasional.
 
“Para petambak sebaiknya aktif berhubungan dengan UPI pembelinya baik secara langsung maupun lewat supplier untuk menginformasikan jadwal panennya jauh-jauh hari dan menanyakan tentang size (ukuran) yang banyak dibutuhkan oleh UPI,” sarannya.
 
Kondisi pasar lokal pun tidak jauh berbeda dengan global. “Sama dengan di luar negeri, pasar lokal yang food service atau horeka sangat kurang permintaanya,” tukas pria kelahiran 27 Mei 1963 itu.
 
Dengan adanya lockdown (karantina) beberapa daerah, Budhi menegaskan, “Yang paling mendesak dilakukan adalah kami sangat berharap transportasi yang berkaitan dengan udang atau ikan tetap lancar jangan sampai terhalang baik itu yang ke tambak, dari tambak ke pabrik, maupun dari pabrik ke pasar ekspor atau lokal. Pemerintah pusat perlu menegaskan hal ini ke pemerintah daerah.”
 
 
Strategi
 
Menghadapi tekanan pasar, AP5I membuka pasar baru ke Eropa Timur seperti Rusia, Belarusia, Latfia, dan Ukraina, serta Amerika Selatan, yaitu Brasil dan Argentina.
 
“Kami akan mencoba mencari pasar baru tapi itu ‘kan nggak gampang. Buka pasar itu bisa berbulan-bulan,” ucap Budhi. Di samping itu, AP5I yang selama ini fokus ekspor juga mulai membidik pasar lokal. 
 
Dosen luar biasa Entrepreneur di Universitas Ciputra, Surabaya, Jatim itu mengatakan, produk perikanan di pasar lokal belum tergarap optimal. Pengembangan udang di pasar lokal harus dalam bentuk produk beku yang siap masak (ready to cook) dan siap konsumsi (ready to eat).
 
Kebanyakan udang dijual dalam bentuk segar sehingga mudah rusak jika tidak segera dimasak. Apalagi, pasar produk olahan terus tumbuh, di atas 10% per tahun. Ia mencontohkan negara yang cukup maju dalam produk olahan ialah Thailand, Vietnam, Filipina, dan Jepang.
 
“Kami sudah mulai mengeluarkan (olahan) logo AP5I, ada Jempol itu kualitas ekspor dipasarkan di lokal. Perlu sosialisasi konsumen kalau frozen (beku) itu baik,” ulasnya. 
 
Karena itu, AP5I menggandeng perusahaan pemasok aneka bumbu untuk membuat produk olahan ikan dan udang. “Banyak anggota kami yang nggak paham dengan bumbu karena biasa ekspor begitu saja,” jelasnya.
 
Kemudian, mengatur jalur distribusi rantai dingin untuk pasar lokal dengan target penjualan online dan offline. “Frozen mart  (toko produk olahan beku) sudah banyak tapi menunggu konsumen datang. Frozen mart yang saya desain aktif menjual sekelilingnya dan jualan online, jemput bola. Nanti akan kerja sama dengan Grab, Gojek, dan stratup-startup,” tandasnya.
 
 
 
Windi Listianingsih

 
Agrina Update + Moment Update + Cetak Update +

Artikel Lain