Foto: Dok. Idham Sakti Harahap
Ulat mampu menembus klobot ke dalam tongkol
Serangan hama ulat grayak jagung yang terjadi di Indonesia tidak sehebat seperti di Afrika dan India, tapi kita perlu penanganan tepat untuk mengendalikannya.
Indonesia kedatangan hama pendatang baru di pertanaman jagung sejak Maret 2019. Namanya Spodoptera frugiperda. Serangga ini satu keluarga tapi beda spesies dengan ulat grayak yang ada di sini, jadi disebut ulat grayak jagung (UGJ). Sejauh ini UGJ mengganyang tanaman jagung muda di bawah umur 30 hari.
Tentang si pendatang itu, Idham Sakti Harahap, Dosen Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Universitas IPB, Bogor, mengatakan, jangan takut dengan kabar serangan luar biasa di luar negeri. Namun perlu antisipasi dan solusi untuk mengendalikan hama tersebut.
“Hama tersebut berasal dari Amerika Tengah bagian selatan melintasi Atlantik, lalu ke Afrika bertahan selama dua tahun, menyebar ke India, Myanmar, Thailand, dan sampailah ke Indonesia pada awal 2019,” jelasnya pada seminar “Penyediaan Jagung Pakan Sesuai Harga Acuan untuk Meningkatkan Daya Saing Industri Ayam Nasional” beberapa waktu lalu.
Masuknya UGJ ke kawasan Asia menjadi isu penting karena bisa berdampak pada penurunan produksi. Di lapangan terlihat, ulat ini sangat rakus makan semua bagian tanaman jagung.
Kerugian Serangan UGJ
Penampilan UGJ sangat berbeda dengan hama yang sudah ada di Indonesia, yaitu Spodoptera litura, S. mauritia, S. exigua, dan S. exempta.
Ciri khusus UGJ adalah adanya huruf Y terbalik berwarna cerah pada bagian kepala serta empat titik hitam tebal berbentuk segi empat pada bagian belakang tubuhnya.
Ciri lainnya, ada garis berwarna pucat di dorsal tubuh, garis berwarna cerah di subdorsal tubuh, serta garis tebal berwarna gelap menyerupai pita bagian samping tubuh.
Balai Besar Peramalan Organisme Pengganggu Tumbuhan (BBPOPT), unit pelaksana teknis di bawah Ditjen Tanaman Pangan, Kementan, menemukan serangan UGJ pada periode April - Juli 2019 di 12 provinsi di Indonesia.
Ke-12 provinsi itu adalah Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Bengkulu, Lampung, Bangka-Belitung, Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Sulawesi Selatan, dan Gorontalo.
Kendati demikian, sampai pertengahan November 2019, Ditjen Tanaman Pangan dan BBPOPT belum merilis data luas sebaran jagung yang terkena serbuan UGJ.
“IPB melakukan survei serangan UGJ di tiga provinsi, yaitu Jawa Barat, Banten, dan Sumatera Barat. Tapi IPB tidak mampu melakukan itu (merilis data, Red.) karena yang harus mengeluarkan BBPOPT dan Ditjen Tanaman Pangan. Saya yakin sudah menyebar seluruh Indonesia tapi berapa luas yang terkena hama UGJ belum ada sehingga dampak ekonominya belum ada yang menganalisis seberapa besarnya di sini,” katanya.
Di luar negeri, dampak ekonomi serangan UGJ sangat besar. Menukil data dari Center for Agriculture and Bioscience International (CABI), Idham membeberkan, perkiraan kehilangan produksi di 12 negara di Afrika 4 juta-18 juta ton/tahun atau setara US$1 juta-US$4,6 juta/tahun. Sedangkan Brasil menghabiskan dana US$600 juta/tahun untuk mengendalikan UGJ.
“Serangan yang terjadi di Indonesia tidak sehebat seperti di Afrika dan India. Kalau Indonesia masih terbilang kecil tapi tetap perlu penanganan tepat untuk mengendalikannya,” tegas doktor entomologi lulusan Clemson University, South Carolina, Amerika Serikat ini.
Pengendalian UGJ
Untuk memantau pertanaman jagung yang terserang UGJ, petani harus paham betul tampang si hama dan gejala serangannya.
Ciri tanaman terkena UGJ adalah tanamannya compang-camping. Daun berlubang-lubang dan banyak ditemukan kotoran menyerupai serbuk gergaji.
UGJ alias Fall Armyworm (FAW) ini bisa menembus klobot masuk ke dalam tongkol, tidak hanya masuk dari rambut jagung seperti hama lain.
Sebelum tanam, Idham menganjurkan perlakuan benih sebagai langkah pencegahan yang paling efektif. Tindakan ini dapat mencegah serangan pada tanaman muda sampai umur 27 hari.
Selain itu, “Kalau benih jagung transgenik Bt corn atau genetically modified organism (GMO) bisa masuk ke Indonesia, ini bisa menjadi salah satu solusi karena benih mengandung toksin. Di Amerika Tengah cukup baik, meskipun ditemukan resistensi pada Bt corn yang mengandung gen cry F1,” ungkapnya.
Metode paling praktis mengendalikan UGJ di lapangan adalah mengaplikasikan insektisida atau biopestisida.
“Yang penting, tepat waktu, yaitu saat ulat masih kecil dan masih menggerombol di permukaan daun karena baru baru saja menetas (instar 1 atau 2). Begitu ulat masuk ke daun yang menggulung, sudah nggak kena lagi disemprot. Jadi, petani harus melakukan pengamatan penerbangan ngengatnya (serangga dewasa). Tiga hari setelah terbang, ngengat meletakkan telur, 4-5 hari kemudian telur menetas. Jadi, pada hari ke-8 waktunya untuk aplikasi insektisida,” rincinya.
Bahan aktif insektisida yang direkomendasikan Kementerian Pertanian India adalah spinetoram, thiametoxam, lambda cyhalotrin, cyantraniliprole, chlorantaniliprole dan emmamectin benzoate.
Beberapa perusahaan pestisida di Indonesia sedang dalam proses pendaftaran produknya di Komisi Pestisida. Dua yang sudah berhasil, yaitu Corteva dengan produk Endure dan Syngenta dengan Proclaim.
Tentang ambang ekonominya, Idham menyebut berdasarkan yang aplikasi di Wisconsin, AS, yaitu 25% dari sampel tanaman ditemukan dua atau lebih ulat, atau 75% dari sampel ditemukan satu ulat. Jumlah sampelnya 100 tanaman di lima lokasi yang berbeda.
Sementara untuk produk biopestisida, petani bisa memilih yang berbahan aktif Metarhizium anisopliae, Metarhizium rileyi, Beauveria bassiana, Verticilium lecanii, dan Bacillus thuringiensis.
Selain itu, masih ada cara lain yang bisa dilakukan secara terpadu, yaitu kultur teknis. Misalnya, bertanam serempak, tumpang sari dengan tanaman repellent dan atraktan seperti yang diterapkan di Kenya.
Sabrina Yuniawati