Rabu, 10 Juli 2019

Masuki Puncak Panen, Harga Kopi Jatuh

Masuki Puncak Panen, Harga Kopi Jatuh

Foto: Syafnijal Datuk Sinaro
I Gusti Made Suryanata, petani kopi di Pekon (Desa-red) Karang Agung, Kecamatan Way Tenong, Kabupaten Lampung Barat mengakui, Bulan Juli merupakan puncak musim panen.

LAMPUNG (AGRINA-ONLINE.COM). Petani kopi di Provinsi Lampung mulai memasuki puncak musim panen. Namun, petani tidak semringah menghadapi panen karena harga jual kopi jatuh hingga Rp18 ribu-Rp19 ribu/kg dari sebelumnya Rp26 ribu–Rp27 ribu/kg.
 
I Gusti Made Suryanata, petani kopi di Pekon (Desa-red) Karang Agung, Kecamatan Way Tenong, Kabupaten Lampung Barat mengakui, Bulan Juli merupakan puncak musim panen. “Ya, semua sentra kopi di Lampung Barat panen bersamaan,” ujar Made kepada Agrina-online.com, Rabu (10/7).
 
Soal harga, lanjut Made, sudah bergerak turun menjelang musim panen. Bahkan terakhir harga kopi asalan di tingkat petani tinggal Rp18 ribu-Rp19 ribu/kg. Padahal sebelum musim panen harga kopi asalan di tingkat petani mencapai Rp26 ribu–Rp27 ribu/kg. “Terjadi penurunan harga yang cukup signifikan, yakni mencapai 30%,” sambungnya.
 
Menurut dia, turunnya harga sudah merupakan siklus tahunan yang selalu terjadi pada puncak panen. Lagi pula banyak petani yang menjual kopi dengan kadar air tinggi dan petik hijau sehingga mutunya rendah yang turut memperburuk harga jual.
 
Hanya Made yang juga PPL ini mengungkapkan, penurunan harga kopi musim panen sekarang lebih tinggi dibandingkan tahun lalu. Pada 2018, harga jual kopi kualitas asalan pada musim panen paling rendah masih di atas Rp20 ribu/kg.
 
Sementara kurs dolar AS terhadap rupiah yang turut berpengaruh terhadap harga kopi tidak banyak perbedaan, yakni sekitar Rp14.400/dolar dibandingkan tahun lalu.
 
 
Strategi Bertahan
 
Petani tidak bisa berbuat apa-apa terhadap naik-turunnya harga kopi. “Yang bisa dilakukan petani adalah meningkatkan mutu kopi melalui petik merah dan mengeringkan kopi, minimal seminggu agar kadar airnya rendah sehingga harga jualnya lebih baik,” jelasnya.
 
Strategi lainnya adalah melakukan pemupukan sesuai anjuran. Menurut pengamatannya, petani yang memupuk kopinya dengan pupuk nonsubsidi rata-rata bisa panen di atas 1,5 ton/ha. Tetapi petani yang tidak melakukan pemupukan, produksinya rendah, bahkan ada yang cuma 700 kg/ha.
 
Hal itu juga diakui Sunyoto, Ketua Kelompok Tani Sinar Harapan Pekon Pugung Tampak, Kecamatan Way Tenong. Selain itu, Sunyoto mengungkap, turunnya produksi kopi juga disebabkan turunnya hujan yang berkepanjangan hingga seminggu pada bulan Maret lalu.
 
Akibatnya bunga kopi banyak yang rontok dan tidak menjadi buah sehingga produksi merosot hingga separuhnya. Padahal tahun ini merupakan siklus dua tahunan produksi tinggi.
 
Pada 2017 produksi kebun Sunyoto berkisar 2-3 ton/ha. Namun, tahun ini hanya 1,2 hingga 1,5 ton/ha. “Penurunannya hampir separuhnya, padahal pemupukan yang dilakukan tetap seperti biasanya,” ungkapnya.
 
Ia mengakui, pendapatan petani kopi pada musim panen tahun ini anjlok. Sebab selain produksi turun juga harga jatuh.
 
Saat musim panen puncak sekarang harga jual kopi asalan di tingkat petani hanya berkisar Rp19 ribu/kg. Bahkan 400 kg kopi miliknya dengan kadar air rendah hanya terjual Rp19.500/kg, sepekan yang lalu. 
 
Untuk mengurangi kerugian pada musim panen ini, Sunyoto menyiasatinya dengan mengolah biji kopi merah melalui olah semi basah. Karena bahan bakunya kopi merah semua maka harga jualnya bisa naik hingga Rp50 ribu/kg.
 
Namun Sunyoto tidak memproduksinya dalam kapasitas besar karena permintaan dari pembeli yang umumnya pemilik cafe dan restoran tidak begitu besar. “Tahun kemarin, saya jual 1,5 ton biji kopi olah basah ini Rp51.500/kg,” tambahnya.  
 
Sementara, Made menyiasati kejatuhan harga kopi dengan menanam kopi robusta unggul Tugusari atau BP 354. Dari lahan seluas seperempat hektar, Made bisa memanen 1,25 ton biji kopi kering/tahun.
 
Setelah dikupas dengan pulper, biji kopi dikeringkan hingga kadar air 14% dan dijual Rp30 ribu/kg. Artinya untuk kebun dengan tananam 625 batang diperoleh pendapatan kotor Rp37,5 juta, di luar perolehan dari penjualan tanaman tumpang sari.
 
Untuk mampu menghasilkan kopi biji sebanyak itu, Made melakukan pemupukan empat kali setahun, yakni pada Maret, Mei, Agustus dan November. Pupuk yang digunakan adalah pupuk nonsubsidi, pupuk Za sebanyak 50 kg dan Mutiara sebanyak 50 kg untuk sekali pemupukan.
 
Lalu yang tidak ketinggalan adalah pupuk kandang 50 karung untuk areal seperempat ha dan pencangkulan lahan sekitar batang kopi agar tanahnya tetap gembur dan memudahkan perakaran tanaman. 
 
Syafnijal DS (lampung)
 
Editor : Windi Listianingsih

 
Agrina Update + Moment Update + Cetak Update +

Artikel Lain