Minggu, 7 Juli 2019

Merajut Solusi Berkelanjutan

Merajut Solusi Berkelanjutan

Foto: Windi Listianingsih
Mengutip data pemerintah, kebutuhan bibit ayam hanya 60 juta ekor/minggu, tetapi faktanya suplai bibit mencapai 68 juta ekor/minggu

Ihwal harga ayam ras pedaging yang anjlok jauh di bawah biaya pokok produksi sudah sering terjadi. Pada 1 Maret 2016 para peternak didukung elemen mahasiswa peternakan berdemo di Kawasan Monas dan Istana Merdeka Jakarta.

Waktu itu mereka mengenakan baju putih dan celana warna gelap membentangkan berbagai spanduk, membawa ayam broiler hidup, dan berorasi untuk meminta perhatian Presiden Jokowi.

Mereka menuntut pemerintah menaikkan harga ayam hidup yang saat itu melorot sampai Rp8.000/kg di tingkat peternak menjadi di atas Rp18.500/kg sesuai harga acuan pemerintah.

Waktu itu pemerintah melalui Ditjen Peternakan dan Kesehatan Hewan, Kementerian Pertanian, meminta perusahaan pembibitan unggas anggota Gabungan Perusahaan Pembibitan Unggas (GPPU) untuk mengurangi jumlah telur yang akan ditetaskan menjadi anak ayam umur sehari (day-old chick).

Perusahaan menuruti permintaan pemerintah tetapi hasilnya malah mereka didenda Komisi Pengawasan dan Persaingan Usaha (KPPU). Meskipun kemudian Mahkamah Agung membebaskan para anggota GPPU dari tuntutan karena mereka hanya menuruti instruksi pemerintah.

Kasus teranyar anjloknya harga ayam hidup di tingkat peternak, menurut Sugeng Wahyudi, Sekjen Gabungan Organisasi Peternak Ayam Nasional (GOPAN), lantaran oversuplai.

Mengutip data pemerintah, kebutuhan bibit ayam hanya 60 juta ekor/minggu, tetapi faktanya suplai bibit mencapai 68 juta ekor/minggu. Sementara permintaan stagnan, akhirnya harga jatuh. Memang diakuinya, jelang Idul Fitri lalu di Jawa Barat harga masih bagus Rp20an ribu/kg di kandang.

Namun jika dirata-rata kerugian Januari-Juni 2019 harga di bawah biaya produksi sehingga peternak rugi Rp2.000/kg ayam hidup.

Ketua Umum GPPU Achmad Dawami mengakui, gonjang-ganjing harga ayam tahun ini tidak wajar karena harga terus di bawah. Artinya, ada ketidakseimbangan antara suplai dan permintaan.

Apakah produksi yang naik, tapi permintaan tetap? Atau produksi tetap permintaan turun? Atau produksi naik, permintaan turun.

Suplai masih bisa diperkirakan dari jumlah impor indukan (Grand Parent Stock-GPS) meskipun nanti ada perbedaan pada patokan produktivitas GPS dalam menghasilkan anak ayam (DOC) dan persentase jumlah kematian ayam.

Pemerintah dalam rapat yang diikuti GPPU akhirnya mengakui terjadi oversuplai. Tim pakar Kementan menargetkan pada 2020 konsumsi daging ayam akan mencapai 13,5 kg/kapita/tahun.

Namun, bila menggunakan data pemerintah, estimasi produksi DOC 2019 3,501 miliar dengan bobot badan rata-rata 1,8 kg/ekor dikurangi target kematian 6,2%, dikalikan persentase karkas (daging dan tulang ayam) 70% lantas dibagi jumlah penduduk, ketemu 15,5 kg/kapita/ha.

Berarti target 2020 sudah terlampaui pada 2019 sehingga pasokan memang perlu dikurangi.

GPPU merekomendasikan pengurangan DOC 22%-23% selama Juli-Desember 2019 atau 30% dalam bentuk telur tetas umur 19 hari. Namun lantas diputuskan pengurangan satu bulan dulu, 24 Juni – 23 Juli.

Bila dampaknya kurang signifikan, akan diakukan pengurangan PS. Lagi-lagi ada perubahan keputusan, pengurangan berupa telur tetas sebanyak 30% dan hanya dilakukan di Jawa Tengah selama dua minggu.

Dawami menilai itu lebih baik daripada sama sekali tidak dilakukan. Pada 4 Juli harga dilaporkan mulai kembali ramah terhadap peternak.

Kasus semacam itu masih mungkin kembali berulang sebagai risiko bisnis karena memang tidak mudah memperkirakan jumlah permintaan masyarakat. Salah hitung, ya risiko kekurangan atau kelebihan, jadi harga akan naik atau anjlok.

Muladno, Guru Besar Fapet IPB yang pernah menjabat Dirjen Peternakan selama 13 bulan mengusulkan, peternak mandiri sebaiknya berintegrasi secara horizontal atau berjamaah membentuk perusahaan kolektif.

Nantinya Bupati memastikan jumlah maksimal ayam FS yang diproduksi per siklus di wilayahnya. Gubernur memastikan jumlah maksimum populasi ayam PS di wilayahnya. Menteri Pertanian memastikan jumlah maksimum ayam GPS yang diimpor ke Indonesia.

Mestinya industri unggas bisa lebih cepat bertransformasi ke arah yang lebih baik. Bila terlalu lama “bertengkar”di dalam negeri, daging ayam asing malah masuk. Ayo satukan langkah, jangan sampai kita gigit jari.

Peni Sari Palupi

 
Agrina Update + Moment Update + Cetak Update +

Artikel Lain