Tanggal 14 Februari bukan hanya penting bagi pasangan yang tengah kasmaran dan suka merayakan Hari Kasih Sayang (Valentine’s Day). Khusus 2024, tanggal ini juga krusial bagi warga Indonesia karena ada hajatan lima tahunan, yakni pemilu yang pasti memilih presiden baru karena Presiden Jokowi sudah mengemban amanah dua periode. Jadi, sampai hari ini tidak ada regulasi yang memungkinkannya memangku jabatan presiden untuk ketiga kali.
Sesuai jadwal Komisi Pemilihan Umum, presiden baru terpilih direncanakan akan dilantik pada 20 Oktober 2024. Presiden baru beserta jajaran kabinetnya nanti akan menghadapi tantangan yang tak kalah berat dibandingkan Kabinet Indonesia Maju dalam periode 2019-2024. Mulai 2020 dunia dilanda pandemi Covid-19 dan disusul perang Rusia-Ukraina yang memicu disrupsi di berbagai bidang, termasuk agribisnis.
Harga pangan melambung akibat pembatasan pergerakan masyarakat. Melambungnya harga sarana produksi seperti pupuk kimia sintetis yang sulit keluar dari Rusia, salah satu pemasok utama pupuk kalium dunia. Yang, tidak kalah penting adalah meroketnya biaya logistik dan transportasi. Indonesia yang bisa dibilang tak punya sumber pupuk fosfat dan kalium, terpaksa membeli dengan harga mahal.
Dengan bujet APBN yang ada, volume pupuk bersubsidi berkurang lantaran harganya naik. Tak pelak, banyak petani mengeluhkan produktivitas tanaman padinya yang anjlok. Apalagi petani yang mengandalkan pupuk nonsubsidi, mereka terpaksa merogoh kocek lebih dalam.
Tersumbatnya aliran ekspor biji-bijian dan minyak nabati dari dua negara berseteru tersebut mengerek harga gandum, jagung, juga minyak bunga matahari. Pelaku usaha minyak sawit sempat menikmati harga sangat tinggi karena minyak sawit diburu sebagai alternatif minyak nabati lain.
Namun, berimbas kelangkaan minyak goreng sawit yang bikin ibu-ibu rumah tangga berteriak sehingga pemerintah melarang ekspor minyak sawit mentah (Crude Palm Oil-CPO) dan turunannya. Kebijakan ini akhirnya memukul balik ke Indonesia karena menyebabkan stok CPO menumpuk dan harga tandan buah segar (TBS) petani meluncur drastis.
Kondisi perekonomian global 2024 diprediksi tidak bagus-bagus amat juga menjadi tantangan bagi pemerintah baru. Bahkan, Bank Dunia dalam Global Economic Prospect 2024 menyatakan, ekonomi global mengalami penurunan pertumbuhan selama tiga tahun berturut-turut dan menjadi kinerja terlemah setengah dekade dalam 30 tahun terakhir. Tahun ini ekonomi global diprediksi tumbuh hanya 2,4%.
Pelemahan ekonomi tersebut, menurut Bank Dunia, sebagai imbas efek berkelanjutan dari kebijakan moneter yang ketat untuk mengendalikan inflasi tinggi selama beberapa dekade, kondisi kredit terbatas, serta perdagangan dan investasi global yang lesu. Lemahnya perekonomian global berdampak melemahnya ekspor. Padahal, Indonesia butuh ekspor yang banyak untuk meraih devisa.
Dua andalan ekspor kita adalah produk sawit dan udang. Sawit menghadapi tekanan di Uni Eropa melalui Regulasi Antideforestasi (European Union Deforestation Regulation-EUDR) yang berpotensi menghilangkan sawit rakyat dari rantai pasok ekspor ke UE. Sementara di dalam negeri, sawit terkendala terlalu banyak institusi yang mengatur komoditas nonmigas penyumbang devisa terbesar ini.
Termasuk, isu kawasan hutan yang menghambat program peremajaan sawt rakyat. Sedangkan, pelaku usaha udang masih saja menunggu berlakunya kebijakan Online Single Submission (OSS) dan tuduhan antidumping dan countervailing duties dari Amerika Serikat.
Para pelaku usaha, termasuk bidang agribisnis, membutuhkan kebijakan yang kondusif dan kepastian hukum untuk berbisnis dengan nyaman sehingga mereka berkontribusi terhadap pendapatan negara. Pun yang menyangkut pangan, sangat penting memproduksi pangan dengan kekuatan sendiri agar mampu menyediakan pangan yang terjangkau masyarakat tanpa membuat produsennya gulung tikar.
Swasembada pangan dan energi sangat layak diperjuangkan agar tak tergantung impor. Inilah agenda penting bagi presiden baru dan jajarannya. Jadi, pilihlah capres dan cawapres yang sekiranya “ramah” terhadap dunia usaha.
Peni Sari Palupi