Selasa, 5 Maret 2019

PERIKANAN: Tiga Cara Mencapai Devisa US$1 Miliar

PERIKANAN: Tiga Cara Mencapai Devisa US$1 Miliar

Foto: windi listianingsih
KEKURANGAN pasokan udang dunia sekitar 500 ribu - 1 juta ton setahun

Mengoptimalkan berbagai keunggulan yang dimiliki, Indonesia bisa menjadi pemimpin pasar udang dunia. 
 
 
 
Ekspor udang Indonesia mencapai US$1,5 miliar pada Januari-Oktober 2018 dari volume 165,12 ribu ton. Nilai ini, menurut Rifky Effendi Hardijanto, masih sangat mungkin ditingkatkan mengingat kebutuhan udang dunia masih belum dapat dipenuhi oleh para pemasok yang ada. Apalagi, udang menduduki peringkat kedua hasil perikanan yang diperdagangkan di dunia dengan nilai mencapai US$22 miliar. Nilai tersebut di bawah angka perdagangan salmon dan trout yang mencapai US$26 miliar. 
 
 
Besarnya potensi udang ini membuat KKP optimis menargetkan tambahan devisa sebesar US$1 miliar melalui ekspor udang pada 2021. “Kalau kita bisa menambah US$1 miliar dalam 3 tahun ke depan, maka kita bisa membantu memperbaiki neraca perdagangan Indonesia,” tandas Dirjen Penguatan Daya Saing Produk Kelautan dan Perikanan (PDSPKP), Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) itu. 
 
 
 
Kekurangan Suplai
Dari sisi permintaan, Rifky menjelaskan, dunia menganggap udang sebagai makanan mahal atau mewah. Penganan bakwan yang diberi tambahan udang misalnya, harga jualnya akan lebih tinggi. “Ini membuat makanan biasa menjadi mewah. Jadi berlaku diseluruh dunia, udang itu dianalogkan makanan mahal,” ulasnya. 
 
 
Udang juga memiliki penggemar tersendiri yang tidak bisa digantikan komoditas lain. Selain itu, lanjut dia, masih ada kesenjangan yang cukup besar antara permintaan dan suplai udang. “Gap-nya itu sekitar 500 ribu sampai 1 juta ton setahun. Nah, ini potensi besar,” cetusnya optimis. 
 
 
Apalagi, produksi komoditas seksi dunia ini juga rawan penyakit. Dibandingkan produsen udang dunia seperti China, Vietnam, Thailand, India, Bangladesh, Meksiko, dan Brazil, Indonesia memiliki keunggulan sebagai negara kepulauan yang bisa mencegah penyebaran penyakit. “Mereka daratan, kalau terjadi wabah penyakit, langsung menyebar. Itu benefit kita,” ungkapnya.
 
 
Terlebih, udang sejatinya merupakan primadona utama ekspor perikanan Nusantara. Pun pabrik pengolahan udang di Indonesia belum terisi optimal. “Potensi udang ini masih besar dan ternyata UPI (Unit Pengolahan Ikan) udang itu baru beroperasi di kisaran 60%. Ketika saya ngobrol dengan eksportir-eksportir udang, mereka (mengaku) kekurangan bahan baku,” papar dia.
 
 
 
Bisa Tercapai
Budhi Wibowo, Ketua Asosiasi Pengusaha Pengolahan dan Pemasaran Produk Perikanan (AP5I) menegaskan, tambahan devisa sangat memungkinkan dicapai asal semua pemangku kepentingan (stakeholders), khususnya pemerintah penyedia infrastruktur berupa listrik, jalan, dan irigasi, saling mendukung. “Kalau itu didukung pemerintah, saya yakin investor pasti akan jalan,” katanya.
 
 
Untuk mencapai target tersebut, Budhi mengaku, pengolah hanya menghadapi kendala bahan baku udang. “Kalau dari sisi pengolah sih nggak terlalu masalah ya. Dari pengolah masalahnya hanya suplainya kurang. Kami hanya mendapat suplai 300 ribu ton setahun karena produksi terbatas. Padahal, kapasitas terpasang 500 ribu ton setahun,” ulasnya sambil menyebut kebutuhan udang budidaya untuk mencapai devisa US$1 miliar sebanyak 120 ribuan ton.  
 
 
 
 
Kelanjutan tentang tulisan ini baca di Majalah AGRINA versi Cetak volume 14 Edisi No. 297 yang terbit Maret 2019. Atau, klik : https://ebooks.gramedia.com/id/majalah/agrina, https://www.mahoni.com, dan https://www.magzter.com/ID/PT.-Permata-Wacana-Lestari/Agrina/Business/

 
Agrina Update + Moment Update + Cetak Update +

Artikel Lain