“Revolusi sawit rakyat pada dekade 1980 – 2000-an terjadi dengan fasilitasi minimum dari pemerintah. Dan kini sudah masanya untuk penanaman ulang. Anehnya, pemerintah sudah menyediakan dana untuk replanting sawit, kenapa malah belum berjalan seperti yang diharapkan?” urai Prof. Dr. Ir. Bungaran Saragih, M.Ec., Menteri Pertanian periode 2000 – 2004, saat diwawancara AGRINA.
Berarti sekarang sudah masanya ditanam ulang?
Pada 1980-an sawit baru diperkenalkan kepada petani. Dewasa ini arealnya sudah lebih dari 4 juta ha. Areal dan produksi yang berkembang sangat cepat ini menjadi salah satu faktor Indonesia mendapat status produsen dan eksportir sawit terbesar di dunia.
Revolusi terjadi karena harga sawit relatif tinggi dibandingkan komoditas lain, tersedia teknologi bibit unggul dan sarana produksi lainnya. Selain itu, tersedia lahan cukup luas di luar Pulau Jawa.
Dan peraturan mengenai kehutanan dan sertifikasi lahan belum diterapkan secara ketat. Lagi pula model kemitraan pekebun dan perusahaan sawit telah menjadi faktor pelancar revolusi ini.
Menurut data Kementan, sekitar 2,7 juta ha sawit rakyat sudah layak ditanam ulang. Pemerintah pun sudah menyediakan dana dalam jumlah cukup besar dari pungutan ekspor sawt untuk peremajaan (replanting).
Seharusnya dana ini akan memperlancar proses penanaman kembali sawit rakyat karena dekade 1980-1990-an tanpa dana dari pemerintah saja sawit rakyat bertumbuh sangat pesat.
Tapi kenyataannya, dalam dua tahun terakhir realisasi replanting sawit rakyat masih jauh dari target. Berarti dana hanyalah syarat pelancar, sedangkan syarat utamanya adalah legalitas lahan yang berada di “areal hutan” dan belum disertifikasi.
Sebenarnya, sebagian besar lahan sawit rakyat ada di luar areal hutan dan sudah bersertifikat. Namun karena pencairan dana bedasarkan kelompok tani, maka kelompok harus menunggu legalitas seluruh lahan petani anggotanya.
Masalah itu hanya bisa diselesaikan bila persyaratan pengusulan kelompok diperlonggar. Misalnya, proses replanting dimulai saja dari anggota kelompok yang sudah memenuhi persyaratan.
Sedangkan yang belum memenuhi persyaratan bisa diurus dan menyusul belakangan. Dengan demikian proses replanting ini tidak merugikan petani yang sudah memenuhi syarat.
Bagaimana menyelesaikan masalah tersebut?
Masalah tersebut tidak akan bisa diselesaikan Kementan dan Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) saja. Soal areal hutan ada di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dan masalah status lahan ada di Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) mulai tingkat pusat, provinsi, hingga kabupaten.
Pada level kabupaten, Dinas Kehutanan dan BPN sering menjadi penghambat ketika diajak Dinas Perkebunan menyelesaikan masalah lahan tersebut. Alasannya, tidak ada dana operasional khusus untuk penyelesaian masalah replanting. Jadi, BPDPKS tidak cukup hanya menyediakan dana bagi Dinas Perkebunan tapi juga untuk Dinas Kehutanan dan BPN.
Di samping itu, birokrasi penyaluran dana sangat panjang, rumit, dan bertele-tele. Verifikasi dibutuhkan mulai dari tingkat kelompok ke kabupaten, provinsi, terus ke Kementan dan BPDPKS.
Barangkali verifikasi cukup pada level kabupaten. Pertanggungjawabannya juga di level kabupaten. Sedangkan level di atasnya berfungsi sebagai pengawas. Hal ini sejalan dengan semangat UU Otonomi Daerah.
Mengingat salah satu kunci sukses revolusi sawit dulu adalah kemitraan pekebun dan perusahaan perkebunan, maka pelibatan perusahaan perkebunan sebagai off taker harus diberi insentif.
Salah satu insentif yang perlu dipikirkan, khususnya bagi perusahaan yang belum memenuhi persyaratan binaan petani sawit 20% dari areal adalah mempertimbangkan areal replanting sebagai pemenuhan persyaratan areal binaan tersebut.
Hal ini tidak hanya akan dapat mempercepat proses replanting, tetapi justru memperkuat gerakan kemitraan pada masa mendatang.
Jika saran ini dapat segera dilaksanakan, barangkali realisasi replanting sawit rakyat akan semakin cepat. Sukses permulaan akan menjadi motivasi dan pendorong untuk sukses-sukses berikutnya.
Untung Jaya