Foto:
JAKARTA (30/1) – Dalam rangka mendorong keberlanjutan usaha dan meningkatkan investasi kerja sama Jepang dan Indonesia, Japan External Trade Organization (JETRO) bersama 13 perusahaan Jepang yang bergerak di bidang perikanan dan usaha pendukungnya melakukan kunjungan ke Jakarta dan Bitung pada 29 Januari hingga 1 Februari 2019. Salah satu rangkaian kegiatan kunjungan tersebut adalah pelaksanaan event Indonesia-Japan Business and Investment Forum pada tanggal 29 Januari 2019 bertempat di Auditorium Tuna, Gedung Mina Bahari IV lantai 15, Kantor Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Jakarta Pusat.
Hadir Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti, Sekretaris Jenderal KKP Nilanto Perbowo, dan Direktur Jenderal Penguatan Daya Saing Produk Kelautan dan Perikanan Rifky Effendi Hardijanto sebagai perwakilan dari KKP.
Hubungan bilateral Indonesia dengan Jepang telah berlangsung lebih dari 60 tahun. Berbagai kerja sama yang mendukung pembangunan sektor kelautan dan perikanan di Indonesia terus ditingkatkan di antaranya kerja sama pembangunan infrastruktur pendukung dan fasilitas logistik di beberapa Sentra Kelautan dan Perikanan Terpadu (SKPT), penyelenggaraan business forum dan pameran, riset/kajian maupun studi banding melalui organisasi seperti Japan International Cooperation Agency (JICA) dan JETRO.
Dalam hal kerja sama investasi dan perdagangan, pada tahun 2017 Jepang menduduki peringkat ketiga sebagai negara investor terbesar di sektor perikanan dengan nilai investasi Rp151,38 miliar (atau sebesar 9,18% dari total nilai investasi asing), dan menduduki peringkat kedua sebagai negara importir terbesar produk perikanan Indonesia, dengan nilai ekspor Indonesia ke Jepang mencapai USD 672,44 juta.
Dalam sambutannya, Sekretaris Jenderal KKP Nilanto Perbowo menyatakan bahwa berkat kebijakan-kebijakan yang telah dilakukan oleh pemerintah, posisi sumber daya perikanan Indonesia selama empat tahun terakhir merupakan periode yang paling produktif secara global. “Our fisheries resources are bounced back already setelah empat tahun kita melakukan moratorium dan pembatasan jenis alat penangkapan ikan,” ujarnya.
Menurut Nilanto, berbagai kebijakan yang telah dilakukan pemerintah tersebut semata-mata bertujuan untuk memberikan kontribusi terhadap keberlanjutan sumber daya perikanan Indonesia, baik yang sifatnya bermigarasi jauh (high-migratory species) maupun yang bergerak di antara kedua negara (standing stock). Hal ini penting mengingat perikanan menjadi sumber daya hayati yang vital untuk keberlangsungan food security global di masa mendatang. Oleh karenanya, Nilanto mengajak pemerintah maupun pelaku usaha di Jepang untuk mendukung upaya keberlanjutan sektor perikanan dalam berbisnis.
“Dahulu ekspor selalu identik dengan kapal-kapal besar, kadang mereka menggunakan alat tangkap yang sedemikian besar. Tetapi hari ini sudah tidak lagi terjadi. Justru small-scale fisheries (ukuran di bawah 10 GT) yang malah mendapatkan ikan bernilai ekonomi sangat tinggi. Kami dapatkan informasi dari masyarakat, mereka bisa mendapatkan ikan-ikan tuna besar sekali (30-40 kg) karena ikan sekarang sudah mulai banyak merapat ke arah pantai karena fishing mortality jauh berkurang. Ikan sekarang ada kesempatan untuk berkembang biak,” jelas Nilanto.
Meskipun begitu, pertumbuhan ketersediaan ikan di perairan Indonesia mengalami kendala dalam sektor industrinya. “Pada saat yang bersamaan, kita terbatas dengan sistem lemari pendingin (cold storage), cold-chain,” tuturnya. Oleh karena itu, pemerintah mengundang para investor Jepang untuk berinvestasi mengisi kesempatan usaha terkait sistem cold-chain.
“Perubahan yang sedang terjadi ini sedemikian cepat dan opportunity is not coming for the second time. Stok ikan kita sedang bounce back, pulih. Sementara di sisi lain, kita membutuhkan cold chain system in place,” ungkap Nilanto. Cold chain system ini termasuk dengan ketersediaan listrik di pantai-pantai di pesisir maupun keperluan logistik.
Selain mengajak Jepang untuk berinvestasi, Nilanto kemudian menyatakan harapannya kepada pemerintah Jepang untuk menghapus tarif impor sebesar 7 persen yang selama ini diberlakukan bagi produk hasil perikanan Indonesia. Menurutnya, hal ini berbeda dengan pemberlakuan tarif impor nol persen yang diberikan Jepang kepada Thailand dan Vietnam.
Nilanto berpesan, “Kalau melihat perikanan di Indonesia, semua orang tahu we are number one. Tetapi our industry is not moving as quick as what we wish. Itu yang kita harapkan. Saat inilah era yang tepat bagi pengusaha, kerja sama yang baik selama 60 tahun terakhir dengan Jepang semestinya dapat dimanfaatkan secepat mungkin. Sembari berjalan, kita menitipkan please kindly remove the 7% import duty.”
Dalam sesi selanjutnya, Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti kembali menekankan tentang keberlanjutan sumber daya dalam melakukan bisnis perikanan di Indonesia. Menteri Susi mengingatkan perlunya menjaga keberlanjutan ketersediaan perikanan di Indonesia guna memastikan food security dan keberlanjutan bisnis perikanan di masa mendatang. “Sustainable sources, sustainable business,” ujarnya.
Menteri Susi meluruskan bahwa reformasi bidang perikanan yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia bukan bertujuan untuk membatasi bisnis, mengurangi porsi bisnis, atau pun mengurangi keuntungan pengusaha. Melainkan untuk membuat industri perikanan lebih mudah mendapatkan sumber material yang berkelanjutan melalui komitmen yang dibangun bersama.
“Kita ingin pasar sudah mulai mengenali sustainability policy yang dilakukan sebuah negara. Saya berharap Jepang akan mendukung policy-policy publik yang menjaga keberlanjutan dari sumber daya alam kita. Untuk apa? Untuk bisnis terus jalan, bukan untuk menyusahkan pengusaha,” terang Menteri Susi.
“Setiap pembatasan dan larangan untuk mengeksploitasi sumber daya alam (SDA) tidak terbarukan akan bermanfaat untuk meningkatkan angka produksi SDA. Ini harus diingat oleh kita semua, oleh para pemangku kepentingan yang mengatur kebijakan publik. Hal ini pulalah yang tengah kita upayakan di Indonesia. Kita tidak bisa melakukannya sendiri. Kita membutuhkan setiap pelaku usaha untuk bergabung bersama. Untuk berkomitmen bersama dengan kami,” tuturnya.
Salah satu contohnya ialah menjaga keberlanjutan_glass eel_ (benih sidat - tangkapan di alam) Menteri Susi mengingatkan bahwa belut akan menjadi langka jika glass eel terus-menerus dieksploitasi dan dieskpor.
Untuk mendukung upaya bisnis perikanan yang berkelanjutan itu, Menteri Susi menuturkan bahwa Indonesia akan sangat senang untuk belajar dari Jepang mengenai praktik-praktik yang telah berhasil mereka lakukan selama ini.
Di akhir pemaparanya, Menteri Susi juga meminta Jepang untuk menurunkan tarif impor terhadap komoditas perikanan dari Indonesia menjadi nol persen. “Ini bukan untuk kepentingan perusahaaan-perusahaan Indonesia, tetapi untuk perusahaan-perusahaan Jepang di Indonesia. Jadi, tolong setujui itu (re: penurunan tarif impor produk perikanan) tanpa syarat,” tutup Menteri Susi.