Foto: Windi Listianingsih
Robin Hutahean (kiri) bersama produsen pakan menjalin kemitraan yang saling menguntungkan
Menurunnya kualitas perairan Danau Toba, membuat budidaya ikan air tawar dengan sistem keramba jaring apung (KJA) menjadi sorotan. Keberadaan KJA Danau Toba dituduh sebagai pencemar utama lingkungan perairan di salah satu danau terbesar di Indonesia itu. Pemerintah Daerah Sumut pun mengurangi jumlah KJA terkait isu tersebut.
Berdasarkan studi yang dilakukan Pusat Riset Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), KJA bukanlah sumber utama pencemaran di Danau Toba. Sebagai muara dari berbagai sungai di Sumatera Utara, Danau Toba banyak menerima limbah dari berbagai kegiatan industri dan rumah tangga, termasuk peternakan. Jika dikelola dengan praktik budidaya berkelanjutan, KJA dapat hidup berdampingan dengan ekosistem Danau Toba.
Terlebih berdasarkan perhitungan kasar saja, nilai ekonomi KJA di perairan Danau Toba mencapai Rp3,7 miliar per tahun. Angka itu berasal dari sekitar 5.600 lubang KJA yang aktif beroperasi dari 8.000 lubang KJA terpasang. Menurut Hotjon Haloho, pembudidaya KJA di Kec. Haranggaol, Kab. Simalungun, Sumut, semenjak budidaya ikan dengan KJA, masyarakat makin sejahtera karena perekonomian membaik.
Robin Hutahean, pembudidaya yang memiliki 150-an KJA mengiyakan pendapat itu. “Masyarakat Haranggaol sudah sejahtera dengan berbudidaya ikan karena bercocok tanam tidak terlalu memungkinkan. Kebutuhan hidup makin tinggi. masyarakat sejahtera dengan adanya keramba,” tandasnya, Jumat (18/1) di kawasan KJA Rakyat Danau Toba. Sebelumnya warga Harangaol menanam bawang tapi merugi karena banyaknya serangan penyakit.
Haloho berharap pemerintah mendukung masyarakat haranggaol dalam mengembangkan budidaya KJA. “(KJA) Jangan sampai ditutup,” tegasnya. Robin menambahkan, “Tekanan untuk membubarkan KJA jangan dilontarkan karena masyarakat jadi trauma.”
Jika Danau Toba sepenuhnya menjadi kawasan wisata, Ebed Boaz Sihotang, pembudidaya sekaligus distributor pakan ikan khawatir masyarakat lokal makin tersingkir. “Yang kami takutkan, penduduk asli jadi penonton. Setelah dijadikan pariwisata, penduduk jadi pindah semua. Investor masuk, penduduk asli pindah ke gunung,” ulasnya. Namun, mereka sepakat jika pengembangan KJA berintegrasi dengan pariwisata karena akan meningkatkan pendapatan pembudidaya.
PT Japfa Comfeed Indonesia, Tbk., perusahaan agribisnis terkemuka di Indonesia yang memiliki usaha budidaya KJA di Danau Toba turut membangun perekonomian daerah melalui melalui sektor perikanan. Andhi Trapsilo, Government Relation Manager JAPFA menjelaskan, melalui PT Suri Tani Pemuka (STP), anak usaha JAPFA, secara konsisten mempraktikan Cara Budidaya Ikan yang Baik (CBIB), ramah lingkungan dan berkelanjutan sesuai standar yang ditetapkan KKP.
Memegang teguh nilai perusahaan untuk “Berkembang Menuju Kesejahteraan Bersama”, STP aktif berkontribusi pada pembangunan masyarakat di sekitar tempat beroperasi. Salah satunya dengan mengadakan kemitraan bersama pembudidaya ikan di kawasan Danau Toba.
Pada 2016 dan 2017, STP mengadakan sosialisasi praktik budidaya ikan yang baik untuk pembudidaya. Pembinaan mencakup aspek peningkatan produktivitas dan penerapan praktik yang ramah lingkungan serta berkelanjutan. Kegiatan berlanjut pada 2018 dengan mengadakan pembinaan pemanfaatan produk sampingan ikan budidaya seperti sirip, kepala ikan, dan kulit ikan. Produk sampan itu diolah menjadi kudapan ringan untuk mendorong peningkatan perekonomian masyarakat sekitar.
Windi Listianingsih