“Sawit memiliki sedikitnya tujuh peran strategis dan menghendaki kita memberi perhatian serius untuk melakukan perbaikan terus menerus agar kontribusinya makin besar ke depan, makin meningkat daya saingnya, makin berkelanjutan, dan makin meningkat keberterimaan (acceptable) pada masyarakat internasional,” ungkap Prof. Dr. Ir. Bungaran Saragih, M.Ec., Menteri Pertanian periode 2000 – 2004, saat diwawancara AGRINA.
Apa saja tujuh peran strategis sawit?
Industri sawit kita merupakan salah satu industri strategis nasional. Disebut industri strategis karena multiperan penting industri sawit dalam perekonomian nasional sebagai berikut.
Pertama, industri sawit saat ini merupakan penyumbang devisa terbesar. Pada 2017, ekspor minyak sawit (CPO/PKO dan produk turunannya) menghasilkan devisa sekitar US$23 miliar.
Kedua, dalam industri sawit terdapat sekitar 4,5 juta ha sawit rakyat (43% luas sawit nasional) yang menghidupi sekitar 3 juta rumah tangga petani sawit di sekitar 200 kabupaten.
Ketiga, selain dilaksanakan oleh ribuan perusahaan sawit dan 3 juta usaha rumah tangga petani, industri sawit juga melibatkan puluhan ribu UKM, baik sebagai pemasok barang/jasa industri sawit maupun perdagangan produk-produk industri sawit hingga ke konsumen.
Keempat, industri sawit menyerap tenaga kerja yang cukup besar, baik sebagai karyawan perkebunan, tenaga kerja sawit rakyat, dan tenaga kerja yang terlibat pada industri hulu, hilir, penyedia jasa dan perdagangan produk akhir.
Kelima, industri sawit menghasilkan bahan pangan (oleofood) seperti minyak goreng, mentega, untuk kebutuhan 250 juta penduduk Indonesia dan kebutuhan industri pangan, kosmetik, deterjen, dan farmasi.
Keenam, industri sawit menghasilkan energi terbarukan (renewable energy), yakni bahan bakar nabati (biofuel) dari minyak sawit, potensial dari biomassa tandan kosong, dan dari pemanfaatan limbah cair dengan alga.
Ketujuh, perkebunan sawit menghasilkan jasa lingkungan berupa penyerapan karbondioksida dan produksi oksigen.
Konsumsi minyak nabati dunia meningkat tapi harga sawit anjlok?
Selama ini, minyak nabati dunia sekitar 83% dikonsumsi dalam bentuk bahan pangan (oleofood). Sedangkan 17% sisanya untuk non-oleofood di luar biofuel.
Berdasarkan data FAO pada 2015 rataan konsumsi minyak nabati dunia untuk oleofood sekitar 19 kg/kapita. Penduduk dunia pada 2050 diproyeksikan akan berjumlah sekitar 9,2 miliar jiwa.
Jika konsumsi per kapita oleofood dunia meningkat dari 19 kg menjadi 25 kg, maka kebutuhan minyak nabati dunia untuk oleofood sekitar 230 juta ton.
Jika penggunaan non-oleofood tetap seperti selama ini, yakni 17%, maka kebutuhan minyak nabati total pada 2050 sebesar 277 juta ton.
Kalau tambahan kebutuhan minyak nabati dunia tersebut 50% saja dari sawit, berarti ada tambahan pasar minyak sawit sekitar 55 juta ton menuju 2050.
Hal ini berarti produksi minyak sawit dunia harus meningkat hampir dua kali lipat, dari 65,5 juta ton menjadi 120,3 juta ton menuju 2050.
Proyeksi tersebut akan lebih besar jika penggunaan minyak nabati untuk energi berubah menuju 2050. Saat ini konsumsi energi fosil dunia mencapai 5,4 triliun liter/tahun.
Bila satu persen saja energi fosil diganti biofuel, maka ada tambahan kebutuhan minyak nabati dunia sebesar 53,6 juta ton/tahun.
Pertanyaannya, mengapa harga sawit belakangan ini anjlok? Banyak sekali faktor penyebabnya, tapi lebih baik kita melihat apa yang dapat kita lakukan.
Agar harga sawit tidak anjlok, salah satunya Indonesia harus konsisten melaksanakan mandatori biodiesel B20. Dengan demikian akan sangat berpengaruh terhadap harga karena permintaan akan sawit di dalam negeri meningkat.
Dengan meningkatnya konsumsi dalam negeri, ketergantungan kita pada ekspor sedikit berkurang. Apalagi jika mandatori biodiesel ini bisa ditingkatkan menjadi B30 atau lebih tinggi.
Selain itu, hilirisasi produk sawit terus dikembangkan agar dapat menyerap bahan baku CPO dari dalam negeri.
Hilirisasi produk sawit ini akan memberi nilai tambah sehingga berdampak pada peningkatan harga bahan bakunya, yaitu tandan buah segar.
Untung Jaya