Jumat, 7 Desember 2018

Merapatkan Barisan

Kondisi bisnis sawit yang tengah terpuruk tahun ini tampaknya menyatukan berbagai pemangku kepentingan.  Ibarat pepatah, we are on the same boat”, alias senasib. Hal itu tampak dalam perayaan Hari Perkebunan ke-61 di Bandung, Jawa Barat. Sejumlah tokoh yang terdiri dari para pejabat, mantan pejabat, pengusaha perkebunan, dan petani membawa kertas bertuliskan “Save Indonesia Palm Oil”.
 
Saat ini petani swadaya mengeluhkan harga tandan buah segar (TBS) yang mencapai titik terendah selain kasus 2002. Waktu itu harga TBS mencapai Rp250/kg di level petani swadaya. Sedangkan akhir bulan lalu, rata-rata harga Rp600/kg.
 
Karena pendapatannya cekak, mereka mengorbankan perawatan tanamannya. Yang biasanya memupuk tiga kali setahun, hanya memupuk sekali saja. Sementara pengendalian gulma dengan herbisida yang rutinnya 3-4 kali setahun juga cuma dilakukan sekali. Pun rotasi panen diperpanjang supaya irit biaya.
 
Kalangan pengusaha pun juga merasakan beban meningkatnya biaya produksi. Contoh paling terlihat adalah biaya tenaga kerja yang naik 10% rata-rata per tahun lantaran kenaikan upah minimum provinsi (UMP). Padahal peningkatan harga minyak sawit kalau dihitung compound annual growth rate (CAGR)-nya rata-rata hanya 1,5%. Sementara biaya membengkak rata-rata 4,9%. Artinya, daya saingnya makin lemah dibandingkan tetangga sebelah, Malaysia.  Apalagi negeri jiran kita itu menerapkan kebijakan pajak yang lebih rendah.
 
Dalam kondisi seperti ini, semua pemangku kepentingan hendaknya bersatu menggarap pekerjaan rumah (PR) masing-masing. Pemerintah punya PR cukup banyak. Mempercepat penyelesaian perundingan dengan negara-negara mitra dagang Indonesia, seperti Pakistan yang minta kompensasi atas defisit perdagangannya dengan Indonesia. Pun Turki yang meminta penandatanganan Preferential Trade Agreement (PTA) sejak 2012 sampai volume ekspor CPO kita tergerus tinggal sedikit.
 
Dalam urusan legalitas lahan perkebunan, baik milik perusahaan maupun petani, pemerintah seharusnya bisa cepat menyelesaikan urusan lintas kementerian ini. Di level Kemenko Perekonomian urusan ini tidak kunjung terselesaikan. Jadi, Presidenlah yang sebaiknya turun tangan dan meminta ketiga menterinya – Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Pertanian, dan ATR/BPN, segera membereskan urusan lahan.
 
Ketika legalitas lahan beres, program peremajaan bisa lebih lancar. Produktivitas kebun rakyat dapat ditingkatkan. Perusahaan perkebunan dan petani bisa segera mengurus legalitasnya sehingga urusan sertifikasi pun lebih lancar pula. Lebih jauh lagi, ini bisa menutup celah tuduhan memanfaatkan lahan kawasan hutan atau melakukan deforestasi.
 
Dalam urusan pasar Eropa dibutuhkan usaha lebih keras semua pihak untuk menggarapnya. Kita harus merespon kampanye negatif yang terus-terusan dilancarkan LSM dan negara produsen minyak nabati saingan sawit.
 
Kita butuh peningkatan level sertifikasi agar bisa diterima pasar internasional. Kita butuh perusahaan-perusahaan yang sanggup menghasilkan produk sawit dengan sertifikat berkelanjutan. Kita juga memerlukan peneliti yang menghasilkan data valid dan terpercaya tentang sejumlah parameter menyangkut lingkungan hidup. Dan akhrnya kita perlu komunikator yang fasih mengedukasi konsumen di Eropa dengan data ilmiah tetapi mudah diterima masyarakat awam.
 
Semua itu bisa diwujudkan dengan kerja bersama dan saling bersinergi di antara semua pemangku kepentingan. Mari kita rapatkan barisan dan mulai kerjakan PR masing-masing sekarang.
 
Peni Sari Palupi
 

 
Agrina Update + Moment Update + Cetak Update +

Artikel Lain