“Selama ini kita sudah sering sebutkan betapa pentingnya industri sawit atau agribisnis sawit bagi perekonomian kita. Kita cepat keluar dari krisis 1998 dan 2008 karena sawit berkembang sangat pesat dan menghasilkan devisa bagi negara. Namun sawit masih menyimpan masalah seperti legalitas lahan,” ungkap Prof. Dr. Ir. Bungaran Saragih, M.Ec., Menteri Pertanian periode 2000 – 2004, saat diwawancara AGRINA.
Bagaimana perkembangan industri sawit kita?
Kita adalah produsen dan eksportir terbesar sawit dunia. Bahkan produsen dan eksportir minyak nabati terbesar di dunia. Jadi sangat jelas terlihat, sawit memang strategis dari segi kepentingan pembangunan ekonomi kita.
Tak hanya dari devisa, adanya sawit membuat daerah-daerah juga berkembang. Yang paling revolusioner dan diapresiasi dunia adalah berubahnya tatanan bisnis yang dulu dikuasai pengusaha besar, sekarang dengan sangat cepat dikuasai para petani atau pengusaha kecil.
Revolusi sawit kita bukan hanya produksi dan ekspor tapi revolusi secara holistik. Misalnya, sawit memberi contoh paling baik tentang agrarian reform yang bukan hanya bagi-bagi tanah tapi juga bagi-bagi kesempatan ekonomi.
Ini salah satu alasan orang luar negeri atau pembeli minyak sawit makin mengapresiasi sawit kita. Kepada mereka, kita bisa katakan sudah lebih dari 40% sawit berada di tangan petani.
Artinya, Indonesia mampu membuat sistem yang tidak mempertentangkan antara pengusaha besar dan kecil, bahkan bisa dibuat bersinergi. Hal ini dapat digunakan untuk menurunkan tekanan pada sawit kita.
Lalu bagaimana dengan masalah legalitas lahan?
Salah satu masalah yang perlu kita perhatikan adalah masalah hukum dengan keluarnya keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 138 Tahun 2015.
Intinya, legalitas lahan perkebunan sawit haruslah Hak Guna Usaha (HGU). Sedangkan menurut UU Perkebunan No. 39 Tahun 2014 bisa HGU atau Izin Usaha Perkebunan (IUP). Salah satu saja dimiliki sudah cukup untuk sementara.
Sebenarnya UU Perkebunan ini melanjutkan apa yang sudah dilakukan sejak masa Orde Baru untuk mempercepat proses pembangunan sawit agar bisa menyelesaikan masalah ekonomi kita dalam banyak hal.
Bahkan pengusaha disuruh tanam terlebih dahulu baru keluar IUP. Di banyak daerah hal itu sudah berlangsung lama dan sekarang tanaman sawitnya sudah menghasilkan. Mungkin jumlahnya bisa jutaan hektar.
Keputusan MK 138/2015 membuat pekerjaan rumah kita sangat besar. Sebab dari sekitar 12 juta ha sawit kita saat ini, masih banyak yang belum memiliki HGU. Tanpa HGU, menurut legalitas, adalah tidak legal.
Dan yang paling jelas, dunia internasional akan mempersoalkan hal itu. Demikian juga RSPO akan mempersoalkan karena sebelumnya RSPO bisa menerima IUP saja untuk mendapatkan sertifikasi RSPO.
Jutaan hektar sawit kita yang bersertifikat RSPO dengan mudah menjual produknya ke luar negeri. Demikian juga dengan ISPO, salah satu syaratnya sekarang harus HGU sehingga prosesnya akan mandek.
Lalu, bagaimana caranya supaya ini tidak menjadi masalah?
Solusinya adalah pengaturan yang baik dengan bertumpu pada dua hal. Aturan yang awal keluar harus bersifat komprehensif, memberi manfaaat, dan memiliki kebenaran teoritik.
Namun bila aturan itu bersifat lanjutan, maka harus ada aturan transisionalnya. Jadi aturan lebih lanjut itu harus mengacu pada aturan sebelumnya yang ditempatkan pada aturan transisional. Dengan keluarnya aturan baru, HGU yang sudah keluar sebelumnya tetap berlaku.
Aturan itu tidak boleh berlaku surut. Jika memang ingin menata, HGU sebelumnya diatur dalam aturan transisional. Misalnya apanya yang berubah dan berapa lama waktu yang diberikan untuk perubahan tersebut.
Jika aturan sebelumnya yang tidak mewajibkan HGU untuk memulai usaha perkebunan, lalu aturan berubah, maka pemerintah harus membuat aturan transisional yang mengakomodasi akta hukum ini.
Setelah diakomodir, lalu diatur dengan melihat kebutuhannya. Misalnya, ada diskresi pemberian HGU secara cuma-cuma atau pemberian HGU secara dipercepat. Kalau pemerintah tidak melakukan itu, maka pemerintah alpa dalam melayani masyarakat.
Untung Jaya