Perekonomian nasional saat ini dalam keadaan kurang baik. Perdagangan Indonesia mengalami defisit artinya nilai ekspor lebih rendah daripada nilai impor sehingga membuat defisit transaksi berjalan semakin dalam. Karena itu pemerintah berupaya keras menggenjot ekspor dan mengurangi impor.
Di antara komoditas agribisnis, sawit terbilang yang paling strategis. “Emas cair” ini menjadi penyumbang utama devisa bagi negara. Bahkan jumlahnya telah melampaui devisa dari migas. Pada 2017, devisa dari produk sawit mencapai US$22,97 miliar atau lebih dari Rp300 triliun. Nilai tersebut diperoleh dari ekspor 31,05 juta ton produk sawit ke India, Uni Eropa, China, Afrika, Pakistan, Timur Tengah, Bangladesh, Amerika Serikat, dan lain-lain.
Perolehan devisa tersebut meningkat dari 2016 yang sebanyak US$18,22 miliar atau sekitar Rp260 triliun. Sungguh besar peranan komoditas perkebunan ini dalam perekonomian nasional. Apalagi Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN)-nya mencapai 95%, sangat penting didukung secara nasional.
Kendati diakui sebagai komoditas strategis nasional, perkembangan sawit masih mengalami sejumlah hambatan, baik di dalam negeri maupun di luar negeri. Membeberkan satu contoh saja adalah peliknya persoalan lahan. Dalam seminar yang digelar Palm Oil Agribusiness Strategic Policy Institute (PASPI) dan AGRINA, 6 September 2018, di Jakarta, terungkap, ada kekosongan regulasi yang membahayakan perkebunan sawit nasional akibat terbitnya putusan Mahkamah Konstitusi No.138/2015 atas 11 pasal Undang-undang No.39/2014 tentang Perkebunan.
Salah satu putusan MK tersebut mengubah Pasal 42 yang intinya usaha budidaya tanaman perkebunan dan/atau usaha pengolahan hasil perkebunan hanya boleh dimulai ketika perusahaan sudah mengantongi Izin Usaha Perkebunan (IUP) dan Hak Guna Usaha (HGU). Regulasi sebelumnya membolehkan perusahaan memulai kegiatannya dengan IUP saja, sementara HGU sedang dalam proses pengajuan. Saat itu juga ada pertimbangan pemerintah untuk mempercepat pengembangan kebun sawit.
Pasalnya, membangun kebun sawit, menurut Mukti Sardjono, Direktur Eksekutif Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI), berbeda dengan membangun industri lain. Membangun perkebunan sawit layaknya membangun perekonomian wilayah kebun, sarana dan prasarana pemukiman dan perkantoran, pekerja, fasilitas sosial dan ekonomi, pendidikan, keagamaan, kesehatan, transportasi, dan lain-lain. Jadi, pembangunan kebun memerlukan waktu panjang minimal lima tahun sebelum kebun kemudian mulai berproduksi, yaitu pembukaan lahan, pembibitan, sarana prasarana kebun, penanaman, pemeliharaan, pendirian pabrik pengolahan, panen, pengolahan, dan pemasaran.
Sementara menurut prosedur resmi untuk mendapatkan HGU, pengusaha harus melalui sejumlah tahapan dengan menghabiskan waktu 76 hari kerja. Namun kenyataannya, seperti diungkap Rawing Rambang, Kepala Dinas Perkebunan Provinsi Kalimantan Tengah, dua tahun selesai pun sudah hebat. Bahkan ada yang sampai lima tahun belum beres.
Tanpa mengantongi HGU, jutaan hektar kebun sawit bisa dianggap ilegal bila putusan MK itu tidak dibuatkan peraturan pelaksanaannya. Paling tidak berupa peraturan transisi untuk mengisi kekosongan hukum yang ada. Di Kalteng saja, menurut Rawing, 1,345 juta ha terancam menjadi ilegal. Kalau lahannya berstatus ilegal, maka perusahaan tidak bisa mengajukan sertifikasi Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO) maupun sertifikasi lain seperti Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO). Padahal sertifikat-sertifikat tersebut diupayakan untuk memenuhi aturan pemerintah dan mempermudah pemasaran produk yang kini makin menuntut syarat keberlanjutan (sustainability).
Karena itu para pelaku usaha meminta pemerintah untuk segera menerbitkan penjelasan resmi, berupa surat edaran atau yang lain selama menunggu eksekusi putusan MK 138. Jadi, perizinan yang telah mereka dapatkan tetap berlaku sehingga tidak mengganggu aspek legalitas perusahaan perkebunan. Mereka juga meminta kepastian waktu pengurusan HGU agar mereka bisa segera menuntaskannya.
Peni Sari Palupi