“Metodologi baru yang terintegrasi dan totalitas kesisteman yang dihadirkan oleh digitalisasi pertanian dan digitalisasi supply chain, sedang berkembang dan mulai memasuki industri sawit. Metodologi produksi baru tersebut menjanjikan tercapainya manfaat ekonomi yang maksimal sekaligus meminimumkan biaya sosial pada industri sawit,” ungkap Prof. Dr. Ir. Bungaran Saragih, M.Ec., Menteri Pertanian periode 2000 - 2004, saat diwawancara AGRINA.
Apa tujuan menerapkan metodologi baru di industri sawit?
Untuk membawa industri sawit yang ada saat ini ke level Sustainable Development Goals (SDGs), yaitu platform baru pembangunan global yang ditetapkan PBB memerlukan metodologi baru, baik pada level perusahaan, industri (supply chain) maupun pada level tatakelola.
Pendekatan parsial yang kita lakukan dalam pengelolaan, baik pada level perkebunan sawit (on-farm) maupun pada level rantai pasok, menyebabkan tidak tercapainya produktivitas yang optimal, inefisiensi, boros sumberdaya, dan menghasilkan polutan pada lingkungan, instabilitas pasokan dan volatilitas harga.
Metodologi baru yang dimaksud, yaitu terintegrasi dan totalitas kesisteman yang dihadirkan oleh digitalisasi farming (precision farming, smart farming) dan digitalisasi supply chain, sedang berkembang dan mulai memasuki industri sawit.
Metodologi produksi baru tersebut menjanjikan tercapainya manfaat ekonomi yang maksimal sekaligus meminimumkan biaya sosial pada industri sawit. Menuju 2030, kita akan menyaksikan digitalisasi tersebut menjadi metode yang efektif dalam membawa industri sawit mencapai SDGs.
Pada level tatakelola industri sawit, metodologi atau pendekatan parsial yang dilakukan selama ini juga tidak lagi memadai dengan kompleksitas yang berkembang.
Perkembangan perkebunan sawit yang cepat bahkan dikategorikan sebagai suatu revolusioner, terlambat diimbangi oleh penyesuaian tatakelola pembangunan perkebunan yang menjadi otoritas pemerintah.
Selain soal kecepatan, pada level tatakelola pembangunan saat ini kita menghadapi kompleksitas sebagai konsekuensi logis dari pelaksanaan otonomi daerah dan perubahan-perubahan kebijakan sektoral.
Izin lokasi perkebunan yang telah menjadi kewenangan pemerintah daerah, bersinggungan dengan perizinan sektoral seperti tataruang, izin kawasan, izin pertanahan dan puluhan izin-izin pemerintah daerah yang harus dimiliki untuk dapat melakukan pembukaan maupun pengoperasian usaha perkebunan.
Belum lagi kompleksitas yang diakibatkan dinamika baru dalam birokrasi pemerintah setiap level yang tidak lagi sistematis bahkan susah dipediksi.
Dalam hal apa digitalisasi dapat diterapkan di industri sawit?
Berbagai masalah yang terjadi pada industri sawit saat ini seperti tumpang tindih perizinan, tumpang tindih kawasan, inkonsistensi perizinan antarsektor, dan belum adanya perizinan perkebunan yang lengkap dimiliki perkebunan sawit saat ini adalah akibat pendekatan parsial atau egosektoral serta keterlambatan penyesuaian tatakelola dengan dinamika masyarakat yang terjadi.
Untuk menghadapi kompleksitas baru tersebut, perlu metode tatakelola baru, yakni digitalisasi tatakelola. Suatu metode tatakelola yang terintegrasi secara vertikal dan horizontal, cepat, mudah, transparan, murah, akuntabel dan toleran pada perubahan dinamika birokrasi.
Sistem perizinan tersebut sebagai bagian dari tata kelola pembangunan merupakan salah satu pilar penting dalam SDGs dan bagian penting dari aspek keberterimaan industri sawit pada pasar global.
Aplikasi Sistem Informasi Perijinan Perkebunan (SIPERIBUN) yang baru saja diluncurkan Direktorat Jenderal Perkebunan merupakan langkah maju yang penting untuk membenahi Tatakelola Pembangunan Perkebunan termasuk pada industri sawit.
Siperibun yang ada, berikutnya perlu dikembangkan dan diintegrasikan secara sektoral (horizontal) dan pemerintah daerah (vertikal) sebagai bagian tak terpisahkan dengan sistem perizinan usaha nasional.
Untung Jaya