“Dalam sistem dan usaha agribisnis akuakultur yang paling lemah saat ini adalah on-farm. Bagaimana mendorong on-farm ini mengubah paradigmanya dari budaya tradisional ke budaya bisnis dan melihat akuakultur sebagai suatu sistem dan usaha agribisnis untuk mewujudkan revolusi biru,” ungkap Prof. Dr. Ir. Bungaran Saragih, M.Ec., Menteri Pertanian periode 2000 – 2004, saat diwawancara AGRINA.
Apakah Indonesia punya pengalaman revolusi dalam agribisnis?
Kita sudah punya tiga revolusi di bidang agribisnis. Pertama, revolusi hijau di bidang pangan dengan swasembada beras pada 1984. Kedua, revolusi unggas mencapai swasembada ayam negeri, baik daging maupun telurnya. Dan ketiga, revolusi sawit yang dimulai dari kerjasama antara PTPN dengan petani plasma, lalu datang para pengusaha swasta dan petani mandiri. Sekarang kita menjadi raja sawit dunia karena ada kerjasama yang baik antara para petani, pengusaha, dan pemerintah. Saat ini sekitar 45% dari total sawit tersebut ada di tangan petani. Kata kunci keberhasilan dari ketiga revolusi tersebut adalah kemitraan yang baik antara petani/peternak, pengusaha, dan pemerintah.
Masalah utama di perikanan budidaya adalah paradigma para pelakunya termasuk pemerintah yang melihat akuakultur sebagai budaya atau way of life belum sebagai bisnis. Jika melihatnya sebagai bisnis, maka harus mengutamakan pasar dan perhitungan laba rugi. Misalnya, pasar membutuhkan udang, maka fokus usaha pada udang termasuk kebijakan, strategi, program, dan sumberdayanya. Dengan demikian bisnis udang ini bisa berkembang lebih besar seperti sawit. Tidak berlebihan jika mengharapkan revolusi agribisnis keempat di Indonesia akan datang dari budidaya udang.
Bagaimana kita memulainya?
Mulailah dengan yang sudah kita miliki dan dari titik paling lemah. Kembangkan model yang tidak menyisihkan rakyat. Subsistem on-farm di akuakultur merupakan titik paling lemah dalam sistem agribisnis. Sekarang on-farm atau budidaya masih 80% tradisional, maka mulai dari yang tradisional ini dimodernisasi. Perlu diubah paradigmanya dari budaya tradisional menjadi budaya modern atau budaya bisnis.
Lalu perlu dibentuk organisasi bisnisnya, apakah itu dalam satu komoditas atau dalam satu wilayah tertentu seperti kluster. Selanjutnya mereka diajarkan berorganisasi secara modern. Jika organisasi ini telah terbentuk, kaitkan dengan industri hulu dan hilirnya secara baik.
Biasanya di hulu dan hilir sudah merupakan industri modern dan usaha yang sudah maju. Karena itu, perlu dikembangkan kemitraan yang baik antara organisasi petambak dan petani ikan (on-farm agribusiness) dengan industri hulu dan hilir (up-stream dan down-stream agribusiness). Alasannya, tidak mungkin akan diperoleh industri hulu dan hilir yang maju jika on-farm-nya tetap tradisional. Jadi harus ada semangat kebersamaan, semangat kemitraan yang sinergis satu sama lain sehingga kita bisa menjadikan akuakultur sebagai revolusi biru.
Kelanjutan tentang tulisan ini baca di Majalah AGRINA versi Cetak volume 14 Edisi No. 287 yang terbit Mei 2018. Atau, klik di : https://ebooks.gramedia.com/id/majalah/agrina, https://higoapps.com/item/1774/agrina-edition-jan-2018, https://www.mahoni.com, dan https://www.magzter.com/ID/PT.-Permata-Wacana-Lestari/Agrina/Business/