Dunia mengenal Revolusi Putih yang terjadi di India. Gerakan pengembangan persusuan terbesar itu diinisiasi National Dairy Development Board (NDDB) pada Juli 1970. Program jangka panjang ini berakhir pada 1996. Dalam waktu 26 tahun, program tersebut mampu mentransformasi India dari negara yang kekurangan susu menjadi produsen susu utama di dunia. Konsumsi per kapitanya pun tinggi, mencapai 150 g/hari atau hampir 55 kg/tahun di pedesaan. Sementara di perkotaan lebih tinggi lagi.
Verghese Kurien, sang arsitek program, menghubungkan produsen susu (peternak) dan konsumen di 700 kota/kabupaten dengan membentuk koperasi. Jejaring ini menekan variasi harga susu di kota-kota tersebut dan menjamin peternak menikmati bagian terbanyak dari pendapatan koperasi yang diperoleh dari konsumen akhir.
Kurien yang juga Ketua NDDB, mendirikan Amul, salah satu perusahaan susu terbesar di India. NDDP pun di bawah manajemen Amul. Revolusi Putih yang juga dikenal dengan “Operation Flood” terbagi menjadi tiga fase. Fase pertama diawali dengan mendirikan koperasi susu (seperti KUD di Indonesia) di 18 gudang susu yang terdapat di 10 negara bagian pada Juli 1970. Koperasi ini dihubungkan dengan empat pasar metropolitan. Sampai akhir 1981 sudah berdiri 13 ribu KUD yang mencakup 15 ribu peternak.
Fase kedua, memperluas program fase pertama ke negara bagian lain. Hingga akhir 1985 sudah ada 136 gudang susu, 34.500 KUD dengan anggota 3,6 juta orang.
Fase ketiga, konsolidasi hasil dua fase sebelumnya dengan meningkatkan produktivitas dan efisiensi. Sampai program ini berakhir terbentuk 73.300 KUD dengan 9,4 juta anggota.
Melalui proses panjang tersebut, Revolusi Putih mampu mengakhiri impor susu padat negara berjuluk Anak Benua tersebut dan memulai peran barunya sebagai pengekspor susu bubuk. Sekitar 10 juta peternak menikmati pendapatan dari industri susu modern. Yang tak kalah pentingnya adalah India mampu memenuhi kebutuhan susu rakyatnya dari produksi dalam negeri.
Kendati India produsen susu utama dunia, skala usaha peternaknya mirip Indonesia, hanya 2-3 ekor/peternak dan produktivitas susunya pun hanya 2,1 ton/tahun/ekor kerbau atau sapi. Masih mendingan produktivitas susu sapi Indonesia, 3,6 ton/ekor/tahun.
Semestinya kita bisa menyusun Revolusi Putih ala Indonesia. Tentu para pemangku kepentingan harus mampu membuat cetak biru persusuan nasional yang mumpuni dan menguntungkan semua pemangku kepentingan. Dan yang utama adalah komitmen semua pihak untuk melaksanakan tahapannya secara konsisten karena seperti India, butuh waktu panjang. Kalau di Indonesia, mungkin menembus empat-lima pemerintahan.
Setelah hampir 20 tahun persusuan nasional “dibiarkan”, pemerintah baru memulai kembali membangun persusuan nasional dengan menerbitkan Peraturan Menteri Pertanian No.26/2017 tentang Penyediaan dan Peredaran Susu. Pemerintah berharap, beleid ini dapat menjadi salah satu solusi mengurai permasalahan persusuan nasional dengan mengakselerasi penyediaan susu dalam negeri yang berkualitas dan berdaya saing. Tujuannya untuk memenuhi kebutuhan konsumsi masyarakat dan bahan baku industri yang berkesinambungan.
Persusuan nasional memang memprihatinkan. Kemampuannya memasok kebutuhan masyarakat kian menurun. Dari 41% pada 1990-an kini tinggal 19%. Padahal permintaan masyarakat akan susu terus tumbuh 5% per tahun. Sayang sekali peluang pasar besar tersebut tidak bisa dinikmati para peternak domestik. Malah peternak luar negeri yang memasok kebutuhan kita sampai 81% dalam bentuk impor susu bubuk.
Kita mendukung langkah pemerintah meningkatkan produksi nasional melalui kemitraan antara peternak, industri pengolahan susu (IPS), juga importir susu non-IPS. Tentu saja tak hanya dari kemitraan, produksi susu segar nasional akan bertambah. Ada perbaikan mutu bibit, perbaikan jumlah dan mutu pakan, perbaikan manajemen pemeliharaan dan kesehatan ternak, serta pendampingan peternak di lapangan. Masih banyak langkah lain untuk menaikkan pasokan susu dalam negeri sampai 40% pada 2021 dan 60% pada 2025. Semoga konsisten.
Peni Sari Palupi