Tiga tahun pemerintahan Jokowi-JK berhasil memperbaiki peringkat investasi dan peringkat kemudahan bisnis (Ease of Doing Business). Bank Dunia menempatkan tingkat kemudahan berbisnis Indonesia di posisi 72 dengan skor 66,47. Peringkat ini naik 19 anak tangga dari sebelumnya nomor 91. Ranking ini membalap China yeng menduduki nomor 78 dan rata-rata negara Asia Pasifik bagian timur. Namun kita masih kalah dari Negeri Jiran Malaysia yang bertengger di urutan 24.
Ada 10 poin yang menjadi topik penilaian, antara lain memulai bisnis, perizinan konstruksi, kemudahan memperoleh listrik, pendaftaran properti, memperoleh kredit, perlindungan terhadap investor minoritas, pembayaran pajak, perdagangan lintas batas, penegakan kontrak, dan penyelesaian kebangkrutan.
Presiden Jokowi sangat bangga dengan pencapaian tersebut. Namun sepertinya di lapangan hal itu perlu pengawalan dan sosialisasi yang gencar agar kemudahan berbisnis itu juga dapat dinikmati investor di seluruh penjuru Tanah Air. Dua hal yang menarik adalah perizinan dan listrik. Seorang tokoh asosiasi pembudidaya udang mengeluhkan cukup mahalnya tarif perizinan, lama penyelesaian perizinan, dan terbatasnya pasokan listrik di kawasan tambak Provinsi Lampung.
Dalam suatu kesempatan, tokoh tersebut mengatakan untuk memperoleh izin bertambak, pihaknya perlu merogoh kantong satu miliar rupiah per hektar. Dan waktu pengeluaran izinnya pun lama. Kondisi ini menciptakan dilema. Pada waktu-waktu lalu, pengusaha mungkin masih berani berkongkalikong membayar lebih kepada oknum pegawai pemerintah agar izinnya cepat keluar. Namun kini pelaku usaha atau investor tentu tak ingin mengenak rompi oranye karena tertangkap Komisi Pemberantasan Korupsi.
Selain itu pasokan listrik dari perusahaan setrum negara juga masih jauh dari memadai. Presiden kita berambisi membangun pembangkit listrik dengan kapasitas 35 ribu watt sampai 2019. Namun realisasinya sampai tahun lalu baru di kisaran 5%. Jadi, wajar bila daerah-daerah termasuk kawasan pertambakan juga banyak yang belum terjangkau listrik dari negara. Tampaknya pemerintah masih butuh waktu lebih panjang untuk merealisasikan cita-cita tersebut.
Melihat kondisi demikian, mau tak mau para petambak mengandalkan genset untuk memutar kincir agar udang yang mereka tebar tumbuh dengan baik. Pilihan yang sulit tetapi harus diambil lantaran pasar udang dunia masih cukup menggiurkan kendati tidak mudah berproduksi saat ini. Tantangan tidak hanya urusan nonteknis, tapi juga merebaknya penyakit perlu upaya lebih untuk mengendalikannya.
Dengan keterbatasan tersebut, biaya produksi udang di Indonesia lebih tinggi ketimbang negara produsen udang lain di dunia. Saat ini biaya produksi udang mencapai Rp47 ribu/kg atau US$3,48/kg. Tahun ini kalangan perudangan nasional yakin bakal ada penambahan produksi sampai 50 ribu ton dengan beroperasinya perusahaan pembenihan baru. Tahun lalu ekspor udang nasional mendatangkan devisa US$2 miliar lebih. Di antara komoditas perikanan budidaya, udang masih menjadi primadona. Karena itu pemerintah pusat hingga pemerintah daerah perlu mengadakan sinkronisasi agar kendala-kendala bisnis tadi bisa terselesaikan.
Sementara itu pengusaha juga dituntut lebih kreatif dalam menghadapi persoalan. Listrik misalnya, bisa diupayakan mencari sumber energi terbarukan di sekitar lokasi. Misalnya dengan memanfaatkan energi matahari yang melimpah di Indonesia. Sumber energi terbarukan memang belum banyak yang memanfaatkan, padahal jenisnya banyak di negeri ini. Ada air, angin, sinar matahari, biomassa, dan lain-lain.
Agar potensi energi terbarukan itu bisa optimal termanfaatkan, perlu orkestrasi yang kompak dari pemerintah untuk menjembatani para penghasil teknologi dan para pengguna teknologi. Di samping itu koordinasi di antara lembaga pemerintah penting dirapikan supaya laju perekonomian berjalan lebih kencang lagi.
Peni Sari Palupi