Sabtu, 7 April 2018

Harmonisasi Kebijakan

Tahun ini agribisnis pangan dan pertanian Indonesia diperkirakan masih tetap tumbuh positif. Hal ini seiring dengan pertumbuhan ekonomi nasional dan global yang membaik.
 
Namun, pada saat yang sama Indonesia harus berhati-hati karena menguatnya kebijakan proteksionisme dengan pelopor Amerika. Lebih bahaya lagi proteksionisme itu berlanjut menjadi perang dagang.
 
Saat ini Amerika Serikat tengah berperang dagang dengan China akibat defisit perdagangan Amerika terhadap China yang membengkak.
 
Biasanya perang dagang (trade war) menyangkut antarindustri. Tetapi bagi negara yang tak punya industri, retaliasinya bisa terjadi di bidang pertanian dan pangan. Tentu kita tidak ingin hal tersebut terjadi dan merugikan pelaku usaha kita. 
 
Saat ini perdagangan sawit kita di Uni Eropa juga tengah menghadapi ancaman proteksionisme. Parlemen Uni Eropa mengajukan resolusi menghapus minyak sawit dari bauran energi mereka 2021.
 
Parlemen Uni Eropa kini tengah berupaya keras agar resolusinya itu mendapat dukungan European Council dan European Commission. Dalihnya terkait kerusakan lingkungan dan keberlanjutan.
 
Padahal, kita tahu alasan sebenarnya adalah melindungi komoditas penghasil minyak nabati mereka dari serbuan minyak sawit kita yang jauh lebih murah. 
 
Sampai saat ini pemerintah, Kemendag hingga Presiden Jokowi, dan pelaku usaha terkait tengah berjuang agar resolusi parlemen tersebut tidak diadopsi kedua lembaga Uni Eropa sehingga menjadi keputusan final.
 
Kalau sampai menjadi keputusan final, Indonesia kehilangan sekitar 20% pangsa ekspornya. Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) yang geregetan dengan sikap Uni Eropa menyerukan pemerintah untuk stop ekspor sawit ke sana.
 
Bahkan kalau perlu kita memboikot komoditas-komoditas dari benua biru tersebut. 
 
Untuk itu pemerintah perlu mengkaji benar-benar setiap kebijakan yang akan dikeluarkan agar jangan sampai berdampak buruk terhadap sektor lain.
 
Dalam berbagai seminar yang digelar AGRINA, muncul keluhan-keluhan para pelaku usaha tentang ketidaktepatan kebijakan pemerintah akibat kurang rapinya koordinasi di antara lembaga pemerintah. 
 
Yang paling sering terlontar dalam diskusi adalah keabsahan data produksi pangan, baik padi, jagung, kedelai, cabai, daging, maupun komoditas agribisnis lainnya.
 
Para pelaku, termasuk petani, membutuhkan data yang bisa dipercaya agar perencanaan bisnis mereka tidak salah arah. Demikian pula pemerintah butuh data valid agar kebijakannya tepat. 
 
Syukurlah belakangan BPS yang ditunjuk pemerintah sebagai penyedia data pangan satu-satunya tengah berbenah dalam metodologinya mengumpulkan data pangan.
 
Termasuk dengan melibatkan BPPT. Diharapkan data yang dihasilkan makin valid dan dapat dipercaya. 
 
Kebijakan yang menyangkut perdagangan juga acapkali membingungkan pelaku usaha dan masyarakat. Contoh, pembukaan keran impor beras oleh Kemendag di tengah klaim produksi padi melimpah oleh Kementan. Sementara, di sisi lain serapan Bulog juga minim. 
 
Kebijakan pemerintah dinilai mengedepankan “punishment” (menghukum) ketimbang “reward” (memberikan penghargaan). Contoh, mengimpor sapi bakalan yang wajib dibarengi indukan. Tanpa indukan, izin impor tidak dikeluarkan.
 
Tambahan lagi, pasar utama daging sapi di Jabodetabek dan Banten digelontor daging kerbau impor yang miring betul harganya. Belum sampai akhir 2018 sebagai batas evaluasi kebijakan, impor sapi bakalan sudah anjlok 30%. Para penggemuk sapi pun tidak “gemuk” lagi kantongnya. 
 
“Pabrik kakao juga harus punya kebun kakao. Ahlinya memproses, tapi disuruh mengerjakan on farm. Jalan pintas-jalan pintas untuk memenuhi target swasembada seperti itu, menurut saya, perlu dipikirkan kembali,” keluh seorang pelaku usaha. 
 
Padahal semua industri itu menjadi gantungan nafkah para pekerja dan keluarganya. Kita berharap ada harmonisasi kebijakan lebih rapi dalam era perdagangan saat ini.
 
Alih-alih produksi nasional naik, kebijakan yang kurang pas malah bikin pelaku usaha setop produksi. Lalu, kita menjadi pengimpor besar yang memakmurkan petani luar negeri. Bukan petani di negeri sendiri. 
 
 
Peni Sari Palupi

 
Agrina Update + Moment Update + Cetak Update +

Artikel Lain