“Kejadian gonjang-ganjing perberasan kita saat memasuki masa paceklik pada akhir dan awal tahun kembali terulang. Kementerian Pertanian mengatakan stok beras cukup tapi di sisi lain harga gabah di tingkat petani dan harga beras di tingkat konsumen cenderung naik. Hal ini tentunya bertolak belakang dengan hukum penawaran dan permintaan,” ungkap Prof. Dr. Ir. Bungaran Saragih, M.Ec., Menteri Pertanian periode 2000 – 2004, saat diwawancara AGRINA.
Mengapa hal tersebut berulang?
Gonjang-ganjing mengenai importasi beras beberapa minggu belakangan ini sebenarnya tidak perlu terjadi.
Hal itu sangat melelahkan dan mencemaskan buat para pengambil kebijakan dan pengamat di bidang pangan.
Sebenarnya selama tiga tahun Kabinet Kerja berjalan tidak terjadi gonjang-ganjing seintens saat ini.
Agar hal tersebut jangan berulang pada masa yang akan datang perlu dicari sumber-sumber penyebab terjadinya gonjang-ganjing tersebut.
Ada tiga sumber utama penyebab masalah perberasan kita. Pertama, tidak tersedianya data akurat dan bisa dipercaya oleh semua pihak yang terlibat, baik di pemerintahan, dunia usaha, pengamat, maupun akademisi.
Bahkan masing-masing mereka mengklaim mempunyai data. Sayangnya, data di antara mereka sering berbeda sehingga mengakibatkan implikasi kebijakan yang disodorkan akan berbeda bahkan bertabrakan, khususnya keputusan akan impor beras atau tidak.
Masalah data ini sudah masalah klasik. Dulu Badan Pusat Statistik (BPS) menjadi sumber data pegangan kendatipun masih banyak kekurangannya. Namun itu tetap digunakan sebagai sumber perumusan kebijakan.
Kini dengan tidak adanya pegangan bersama, maka dimungkinkan terjadinya debat yang tidak berkesudahan pada akhirnya diselesaikan dengan “kekuasaan” dan bukan berdasarkan nalar yang bersumber dari data. Jika masalah data ini tidak kunjung diselesaikan, maka gonjang-ganjing serupa akan terus berulang.
Alasan berikutnya?
Kedua, kita terjebak dengan konsep kedaulatan pangan, ketahanan pangan, dan swasembada yang direduksi menjadi konsep tidak boleh impor.
Sebenarnya dalam konsep kedaulatan pangan, ketahanan pangan, dan swasembada dibenarkan untuk mengimpor pangan dan ini bukanlah dosa.
Barangkali kita perlu berpikir ulang untuk mengembangkan suatu filosofi tentang kedaulatan, ketahanan, dan swasembada dalam kaitannya dengan kebijakan impor dan ekspor pangan.
Karena itu, kita perlu berpikir jernih dan fair mengenai peranan impor dan ekspor pangan terhadap ketahanan dan kedaulatan pangan kita. Tidak ada negara dengan konsep yang no import.
Dan ketiga, tidak jelasnya konsep koordinasi dalam perumusan kebijakan dan pengambilan keputusan mengenai pangan.
Belakangan ini ada kecenderungan masalah pangan yang sifatnya intersektoral dan intertemporal diselesaikan secara sektoral dan temporal (jangka pendek), akibatnya menimbulkan disharmoni.
Sementara yang dibutuhkan untuk menyelesaikan persoalan pangan kita adalah konsep intersektoral dan intertemporal (jangka panjang).
Barangkali hal ini diperparah dengan belum dilaksanakannya UU No. 18/2012 tentang Pangan, terutama Pasal 126 tentang kelembagaan yang menangani bidang pangan.
Dalam UU Pangan sebelumnya, pada masa pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputri telah dibentuk Dewan Ketahanan Pangan (DKP) yang langsung dipimpin oleh Presiden dan Ketua Harian dijabat Menteri Pertanian.
Pada masanya dewan tersebut berhasil meminimalkan gonjang-ganjing seperti saat ini. Kini dengan adanya UU Pangan yang baru, kelembagaan ini harusnya sudah diubah namun belum diwujudkan dalam bentuk Keputusan Presiden.
Sebaiknya itu perlu segera dilaksanakan agar gonjang-ganjing yang melelahkan dan mencemaskan tentang pangan tidak terulang lagi.
Guna mengisi kekosongan lembaga tersebut, melalui Keppres dapat dihidupkan dan difungsikan kembali untuk sementara DKP yang ada sambil mempersiapkan kelembagaan baru.
DKP yang ada saat ini sudah mempunyai struktur, bujet, dan personil yang cukup memadai untuk melaksanakan koordinasi kebijakan pangan nasional.
Namun perlu penegasan ulang mengenai kewenangan dan tanggung jawab masing-masing personil atau lembaga dalam melaksanakan kebijakan pangan nasional.
Untung Jaya