Pertanian Serba Tepat
Peningkatan produksi pangan nasional harus tetap diupayakan semaksimal mungkin seiring pertambahan jumlah penduduk. Namun peningkatan produksi pangan saat ini menghadapi sejumlah kendala, terutama menyempitnya lahan pertanian. Jadi, kita harus memproduksi lebih banyak pangan dari lahan yang makin sempit alias grow more from less.
Lantas bagaimana caranya? Precision farming atau pertanian serba tepat menjadi solusi yang tak bisa ditawar-tawar lagi. Menurut Ketua Umum Kontak Tani Andalan Nasional (KTNA) H. Winarno Tohir, bertani presisi harus dimulai sejak pengolahan lahan, pengaturan air irigasi, benih unggul, pemupukan, pengendalian hama penyakit, aplikasi pestisida, penyuluhan, asuransi, prediksi cuaca dan iklim hingga pemasaran.
Praktik pertanian pangan kita yang belum presisi membuat biaya produksi tinggi. Mengutip data lembaga penelitian padi internasional (IRRI) di Filipina, biaya produksi padi Indonesia pada 2016 2,5 kali lebih mahal ketimbang Vietnam, yaitu Rp4.079/kg dibandingkan Rp1.619/kg. Sementara India dan Thailand masing-masing Rp2.306 dan Rp2.291 per kg.
Winarno berpendapat, Indonesia sangat mungkin menerapkan pertanian serba tepat karena sarananya sudah ada. Tinggal bagaimana mempraktikkannya agar biaya produksi bisa ditekan, produktivitas naik, dan ujung-ujungnya pendapatan petani membaik.
Precision farming tidak hanya penting bagi Indonesia. China dengan kebutuhan pangan jauh lebih banyak ketimbang Indonesia juga mencurahkan perhatian yang besar terhadap aplikasi cara bertani pintar ini. Prof. Maohua Wang dari Kementerian Pendidikan China memaparkan tren precision farming di dunia sejak 1980-an dalam konferensi internasional, Agrievolution Summit 2017 di Wuhan, China, 26 Oktober silam.
Menurut anggota Akademi Perekayasaan China tersebut, sejak 1980-an para ilmuwan mendekati precision farming dengan strategi pengelolaan lahan spesifik lokasi dan pengelolaan tanaman spesifik lokasi. Kemudian pascaperang Teluk 1990, Amerika mengizinkan penggunaan Global Positioning System (GPS) untuk masyarakat sipil. Inilah yang direspon dengan sangat baik oleh pabrikan alsintan. Mereka melengkapi produk mesin dengan perangkat pintar teknologi informasi sesuai kebutuhan pasar.
Di Eropa seperti terlihat di pameran mesin pertanian EIMA International 2016 di Bologna, Italia, ada peserta pameran yang khusus menjual sistem pertanian pintar. Intinya, semua peralatan dan mesin di lapangan dipasangi sensor yang akan mengirim data ke pusat kendali di kantor sang pemilik farm. Berdasarkan data lapangan itu, sistem memberikan rekomendasi yang bisa dilaksanakan pemilik farm atau personal yang bertanggung jawab dengan memberi perintah melalui tombol ponsel, tablet, atau komputer.
Indonesia memang masih jauh dari aplikasi teknologi terkini tersebut. Namun paling tidak, harapan Winarno, petani kita bisa melakukan perbaikan praktik budidaya mendekati presisi. Mulailah dengan pengolahan lahan sempurna saat musim gadu, bukan hanya babat jerami. Pengairan hendaknya cukup macak-macak seperti pada system of rice intensification (SRI).
Pemilihan benih unggul sesuai kondisi lahan di wilayahnya dengan berpatokan pada peta lokasi kebanjiran dan kekeringan juga kerawanan terhadap serangan hama penyakit yang tersedia di Badan Litbang Kementerian Pertanian. Cara tanam mundur perlu diubah ke tanam maju dengan caplak dan transplanter agar efisien waktu dan biaya. Pola tanam bibitnya pun dari tegel menjadi jajar legowo yang terbukti minimal menaikkan produktivitas 10%.
Pemupukan dilakukan dengan nutrisi berimbang dan menerapkan enam tepat. Sebelum bertanam, petani bisa mencari informasi tentang kondisi hara di lahan sehingga pasokan pupuk sesuai kebutuhan tanaman agar pemupukan lebih efektif dan efisien.
Prinsip yang sama juga diterapkan saat mengendalikan hama penyakit dengan menggunakan pestisida. Aplikasi pestisida harus berdasarkan hasil pemantauan lapangan. Jadi, ketika mengambil keputusan menyemprot dengan pestisida, organisme pengganggu dapat terkendalikan secara efektif.