Swasembada = Sejahtera?
Tren produksi komoditas pangan nasional, khususnya bahan pangan pokok seperti beras dan jagung dari tahun ke tahun terbilang meningkat. Mentan Amran Sulaiman di berbagai kesempatan mengungkap, data produksi padi nasional pada 2016 mencapai sekitar 79 juta ton atau naik cukup signifikan dibandingkan 2015 sebesar 74 juta ton dan 2015 sebesar 70 juta ton.
Peningkatan produksi tersebut sesuai program swasembada pangan yang menjadi bagian dari Nawacita Pemerintahan Jokowi - JK. Tak mengherankan bila anggaran untuk mendukung program swasembada pangan cukup besar. Pada 2016 anggaran Kementan mencapai Rp32,8 triliun. Kemudian tahun ini menurun jadi Rp 22,1 triliun. Sementara tahun depan diusulkan anggaran sebesar Rp22,66 triliun.
Angka anggaran tersebut merupakan yang terbesar kesepuluh di antara kementerian dan lembaga lainnya. Fokusnya adalah percepatan swasembada pangan. Beberapa program yang dilaksanakan, yaitu perluasan sawah sekitar 200 ribu hektar (ha), rehabilitasi irigasi, optimasi lahan 275 ribu ha, pembangunan Toko Tani Indonesia, pembangunan gudang penyimpanan, dan pengetatan impor.
Kementan mengklaim sebagian hasil dari “reformasi” di lembaganya, misal dalam bentuk ketepatan waktu penyaluran pupuk dan alat mesin pertanian (Alsintan), produksi tujuh komoditas utama pangan meningkat, impor menurun, sinergitas meningkat, serta minimalisasi risiko gagal panen.
Terkait regulasi impor, Kementan mengutip data Badan Pusat Statistik (BPS), nilai ekspor komoditas pertanian Januari hingga Agustus 2017 mencapai US$22,18 miliar, sedangkan nilai impor hanya US$11,20 miliar sehingga surplus US$10,98 miliar. Surplus ini naik 101% dibandingkan periode yang sama 2016.
Harus diakui, selain menghasilkan surplus neraca perdagangan nasional, pengetatan regulasi bahan pangan seperti beras dan jagung juga berdampak pada meningkatnya harga komoditas yang diatur tersebut. Wajar jika sekarang tidak banyak suara dari kalangan petani terkait jatuhnya harga saat panen.
Namun sekarang pertanyaannya apakah dengan angka-angka positif di atas cukup menggambarkan kenaikan level kesejahteraan petani? Ada pendapat menarik yang menyatakan, bukan seberapa besar anggaran yang diberikan, tapi seberapa besar anggaran itu bermanfaat bagi petani.
Sejumlah bantuan alsintan mungkin secara umum tersalurkan dengan cepat dan lebih merata, namun bagaimana dengan efektivitas penggunaannya? Nyatanya, dalam sejumlah pertemuan petani selalu mencuat masalah ada alat pertanian yang sampai mangkrak tidak digunakan petani.
Kementan seyogyanya juga fokus membenahi masalah ini. Masalahnya bisa jadi karena kurang tepat sasaran atau petaninya secara pengetahuan belum siap menggunakan alsintan dengan spesifikasi yang diberikan. Karena itu pemberian bantuan alsintan perlu dibarengi pendampingan penyuluh.
Dalam sebuah perbincangan bisnis, pengamat pertanian yang juga Guru Besar Universitas Negeri Lampung Prof. Bustanul Arifin menyebut, indikator kesejahteraan petani yang paling mudah dianalisis adalah Nilai Tukar Petani (NTP). NTP, yaitu rasio antara biaya yang dikeluarkan petani dengan yang diterimanya.
Nah, NTP inilah yang sepanjang panen raya tempo hari justru menunjukkan penurunan. Artinya, kesejahteraan petani turun saat dia justru memegang hasil panen. Harga produk pertanian saat panen raya cenderung turun karena pasokan sedang berlebih. Bustanul menegaskan, tidak hanya NTP petani tanaman pangan yang turun, tetapi juga NTP petani perkebunan dan peternak unggas. Kendati pergerakannya fluktuatif, NTP peternak sapi rakyat menunjukkan kondisi stabil.
Indikator-indikator tersebut sebaiknya menjadi perhatian Kementan jika ingin ada keselarasan antara pencapaian swasembada pangan dengan kesejahteraan petani. Perlu didorong upaya peningkatan skala usaha pertanian yang mendekati ideal. Misalnya dibuatkan standar atau kebijakan yang mengarahkan skala usaha tani ideal agar memperoleh pendapatan layak. Semua ini bisa dilakukan dengan selalu serius mendengarkan keluhan petani dan segera memberikan solusi yang tepat.