Ubah Cara Bertani
Untuk mencapai kedaulatan pangan, pemerintah perlu mencapai swasembada pangan terlebih dahulu. Tahun ini pemerintah menetapkan fokus pada 7 komoditas pangan strategis dengan target produksi masing-masing, yaitu padi (78,10 juta ton gabah), jagung (22,4 juta ton pipilan), kedelai (1,88 juta ton), gula (2,8 juta ton), bawang merah (1,173 juta ton), cabai (1,106 juta ton), dan daging sapi (0,46 juta ton).
Pencapaian target tersebut, khususnya selain daging sapi, menghadapi tantangan semakin sempitnya lahan pertanian akibat alih fungsi ke nonpertanian. Apalagi hasil penciptaan sawah baru masih belum mampu mengimbangi luasan lahan yang beralih fungsi. Karena itu upaya intensifikasi dengan berbagai strateginya menjadi pilihan utama. Sebut saja pembangunan dan perbaikan sarana irigasi, penyediaan sarana produksi seperti pupuk, benih bermutu, pestisida juga pemanfaatan alat dan mesin pertanian sejak pratanam hingga pascapanen.
Khusus mengenai pupuk, pemerintah mengalokasikan anggaran dari APBN untuk pemberian subsidi pupuk bagi petani. Anggarannya semakin membesar sejak 2012 dan tahun ini mencapai Rp31,2 triliun. Kebijakan ini terus berlanjut lantaran berdasarkan data BPS dan Pokja Pupuk, penggunaan pupuk dan subsidi pupuk menjadi salah satu faktor kenaikan produksi dan produktivitas tanaman pangan, khususnya padi, jagung, dan kedelai.
Pada periode 2003-2016, menurut Abdul Salam, Ketua Pokja Khusus Perumusan Kebijakan Pupuk, Kemenko Perekonomian, rata-rata kenaikan produksi padi 3,31%, jagung 6,49%, dan kedelai 2,97%. Pada periode yang sama, rata-rata kenaikan produktivitas tiga komoditas pangan utama kita itu masing-masing sebesar 1,12%, 3,91%, dan 1,2%.
Data positif tersebut masih bisa didongkrak dengan meningkatkan efisiensi penggunaan pupuk. Husnain, Kepala Balai Penelitian Tanah, menunjukkan efisiensi penggunaan pupuk baru berkisar 40%-65% (pupuk N), 15%-25% (P), dan 30%-50% (K). Memang perlu pengelolaan lahan yang lebih baik agar efisiensinya meningkat. Namun, faktor petani sebagai pengguna pupuk juga perlu mendapatkan perhatian karena masih banyak petani yang tidak menerapkan 4 tepat: dosis, jenis, cara, waktu, plus 3: kombinasi pupuk organik dan anorganik, pengelolaan air yang tepat dan inovasi teknologi pupuk.
Poin inovasi pupuk bisa didorong di kalangan produsen pupuk seperti usulan Rachmat Pambudy, Penasihat Pusat Pangan Agribisnis, pada saat seminar Kinerja Kedaulatan Pangan dan Pemupukan Nasional, 30 Agustus silam. Menurut Sekjen HKTI ini, ada baiknya pabrik pupuk melihat kemajuan industri pakan ternak. Industri ini memproduksi pakan untuk beberapa jenis ternak dan berdasarkan umur ternak.
Ke depan industri pupuk bisa memproduksi pupuk untuk beberapa jenis tanaman strategis dan kandungan haranya sesuai stadia tanaman-tanaman tersebut. Misalnya, ada beberapa jenis pupuk padi berdasarkan stadia kritis pertumbuhan padi, yaitu awal pertumbuhan vegetatif, pembentukan anakan dan primordia, pembungaan, lalu pengisian bulir. Dengan demikian, pemupukan tanaman oleh petani bisa lebih mendekati kriteria tepat tadi ditambah tepat harga untuk memperoleh hasil maksimal dan biaya yang optimal.
Namun, tentu saja itu bukan hanya porsi pabrik pupuk saja. Pemerintah melalui Badan Litbang Pertanian juga perlu melakukan pemetaan hara di dalam tanah di seluruh sentra produksi guna memperoleh dosis pemupukan yang tepat. Para penyuluh pun bisa lebih diaktifkan dalam memberikan informasi kepada para petani. Apalagi sampai saat ini sebanyak 74,3% petani belum memperoleh layanan penyuluhan. Perubahan pupuk dan cara pemupukan memerlukan penyuluhan yang intensif.
Selain cara-cara penyuluhan konvensional melalui pertemuan petani, pemerintah perlu membekali para penyuluh dengan ponsel pintar dan teknologi informasi terkini. Tujuannya, agar mereka bisa memperluas jangkauan pelayanannya melalui berbagai aplikasi di ponsel yang kini juga sudah banyak dimiliki petani. Pada akhirnya, petani pun melek berbagai informasi, tak hanya teknologi bertanam tetapi juga tentang pasar hasil produksinya.