Budaya Beras
Kian besarnya kebutuhan beras nasional tiap tahun mengikuti laju pertumbuhan penduduk Indonesia. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan angka produksi gabah kering 2015 mencapai 74,9 juta ton, yang setara dengan 43,61 juta ton beras. Dengan konsumsi beras nasional sekitar 33,35 juta ton, pemerintah mengumumkan surplus beras sebesar 10,25 juta ton. Kemudian pada 2016 produksi gabah kering mencapai 79 juta ton.
Sangat besarnya produksi dan kebutuhan tersebut menjadikan beras komoditas pangan utama atau bisa disebut sudah menjadi budaya, malah bisa dibilang sudah menjadi komoditas politis. Sejarah membuktikan, bila pasokan beras terganggu, maka inflasi terkerek. Bahkan beras menjadi alat untuk menggoyang rezim pemerintahan.
Keputusan pemerintahan Jokowi-JK untuk tidak mengimpor beras memacu semangat para petani padi untuk terus bercocok tanam. Suara-suara petani yang mengeluhkan harga gabah di bawah Harga Pokok produksi (HPP) karena harus bersaing dengan beras impor hampir tidak terdengar lagi.
Para petani kini lebih fokus meningkatkan produktivitas dengan sentuhan berbagai teknologi baru ketimbang mengurusi masalah harga. Bisa dikatakan posisi tawar petani padi mulai terangkat. Saat terlihat tren usaha padi relatif sedang baik, mencuatlah kasus beras PT Indo Beras Unggul (IBU).
Juli lalu PT IBU diduga melakukan kecurangan dalam pencantuman Acuan Kecukupan Gizi (AKG) dan Standar Nasional Indonesia (SNI). Beras premium merek Maknyuss dan Ayam Jago produksi perusahaan ini mencantumkan AKG dalam label kemasan. Padahal AKG hanya dicantumkan pada makanan olahan. Dugaan pelanggaran ketiga terkait dengan aturan kemasan. Beras Maknyuss dan Ayam Jago menggunakan sertifikat SNI PT Sukses Abadi Karya Inti (Sakti). Kemasan seharusnya sesuai dengan di mana (produk) itu diproduksi, (tapi) ternyata tidak. PT Sakti ternyata diproduksi PT IBU.
Atas dugaan pidana ini, Dirut PT IBU dikenakan pasal berlapis yakni Pasal 144 jo Pasal 100 (2) UU Nomor 18/2012 tentang Pangan. Lalu Pasal 62 jo Pasal 8 ayat 1 huruf e,f,i dan atau Pasal 9 h UU Nomor 8/1999 tentang Perlindungan Konsumen, Pasal 3 UU Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) dan Pasal 382 KUHP. Kini kasusnya masih bergulir.
Mencuatnya kasus ini membuat rancu di mana sebenarnya keberpihakan pemerintah terhadap petani. Hal ini terkait langkah yang dilakukan PT IBU dengan berani membeli harga gabah lebih mahal dari harga patokan pemerintah.
Sejumlah pakar ekonomi menilai, PT IBU memang bukan penolong petani yang tanpa kepentingan. Mereka hanya perusahaan hilir beras yang mencari keuntungan. Namun yang mereka lakukan adalah sebuah inovasi tata niaga. Hasilnya, mereka sanggup membeli harga yang lebih mahal dari petani sekaligus sanggup menjual dengan harga lebih mahal kepada konsumen.
Lalu apakah konsumen dirugikan? Faktanya, produsen beras premium dengan berbagai merek yang menawarkan kualitas dan menyasar kalangan ekonomi menengah atas punya pasar tersendiri. Tak sedikit konsumen langganan beras premium menilai harga yang ditawarkan sesuai kualitasnya. Beras premium tetap laku.
Pada sebuah diskusi di salah satu stasiun TV nasional terungkap sebenarnya kategori beras medium dan premium yang ditetapkan SNI juga ada perbedaan dengan kategori yang diacu Kementerian Pertanian. Selain itu definisi beras sebagai pangan olahan juga menurut pakar gizi masih rancu karena beras merupakan komoditas yang tidak bisa dimakan langsung, perlu diolah dulu. Terkait pelabelan produk memang sejumlah pakar menilai terjadi ada kesalahan yang dilakukan PT IBU.
Kasus beras premium ini membuka mata masyarakat Indonesia, khususnya komunitas agribisnis. Masih banyak yang menunggu akhir kasus ini. Apa pun hasilnya pemerintah perlu memperbaiki sistem perberasan nasional. Terutama aturan peluang usaha hilirisasi beras yang kini mulai banyak diminati pihak swasta. Pemerintah harus melihat secara seimbang kasus ini. Kalau tidak, momentum ini bisa menjadi pemicu atau malah jadi pemukul bagi komunitas petani padi nasional.
Pandu Meilaka