Pelaku usaha peternakan dan hortikultura kita semakin hari semakin dihadapkan persaingan yang keras dan terbuka. Kekalahan Indonesia melawan gugatan Amerika Serikat (AS) dan Selandia Baru di forum organisasi perdagangan dunia (WTO) dalam perkara importasi daging dan komoditas hortikultura tahun ini menjadi ancaman nyata.
Kendati Indonesia mengajukan banding (appeal) atas putusan panel WTO itu, banyak pihak yang mengakui, tidak mudah untuk memenangkan perkara tersebut. Karena itu, sembari menunggu hasil banding kurang dari setahun, pemerintah dan pelaku usaha sebaiknya bahu-membahu bersiap diri menyaingi produk impor dengan langkah yang konkret.
Ada dua hal yang bisa diupayakan: mengerek efisiensi usaha semaksimal mungkin dan menggelorakan kembali semangat cinta produk dalam negeri. Efisiensi bisa diciptakan pemerintah melalui penghilangan praktik-praktik ekonomi biaya tinggi misalnya berbagai pungutan yang membebani dunia usaha, termasuk juga pungutan liar di jalur transportasi. Hal lainnya adalah menyediakan pembiayaan lewat perbankan dengan suku bunga yang lebih murah.
Soal bunga bank yang rendah, kita bisa berkaca dari tetangga kita, Malaysia. Sebagai contoh, Agro Bank di negara itu mendukung pelaku usaha pembibitan sapi dengan suku bunga hanya 3,75%. Sebagai perbandingan, Bank Mandiri menyediakan Kredit Usaha Pembibitan Sapi (KUPS) dengan bunga 5%.
Masih terkait pembibitan, pelaku usaha di Tanah Air menginginkan pemerintah memberlakukan bea masuk 0%, tidak lagi 5%, untuk sapi indukan impor. Hal ini terkait dengan regulasi pemerintah yang mensyaratkan pelaku usaha penggemukan untuk mendatangkan sapi indukan bersamaan impor sapi bakalan yang diimpornya.
Pada industri ternak unggas, jagung menempati posisi strategis sebagai bahan baku industri pakan unggas karena menyumbang 50% dalam ransum pakan. Indonesia sangat mungkin memproduksi sendiri jagung, bahkan mengekspornya ke negeri tetangga, seperti klaim Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman. Namun lagi-lagi entah selip di mana, ketika produksi jagung diklaim melimpah, peternak ayam petelur dan industri pakan kesulitan memperoleh jagung dengan harga yang wajar. Sebaiknya ada win-win solution terhadap harga beli jagung yang menjamin petani dan peternak sama-sama bisa menikmati laba. Dan ujungnya, konsumen menikmati harga yang wajar pula saat membeli daging ayam dan telur bagi keluarganya.
Efisiensi di semua lini tentu saja wajib diperjuangkan para pelaku bisnis melalui aplikasi teknologi terkini dan manajemen usaha yang lebih baik. Di industri perunggasan misalnya, menurut pemikiran Arief Daryanto, Direktur MB IPB, pelaku harus melakukan integrasi vertikal dan horisontal. Integrasi vertikal menyangkut unit-unit kegiatan dari hulu sampai hilir di suatu perusahaan. Di Amerika dan Brasil, dua raksasa industri unggas dunia, integrasi vertikal sangat lazim dipraktikkan untuk mendapatkan biaya produksi yang efisien.
Di Indonesia sudah tumbuh beberapa grup perusahaan semacam itu. Sebut saja Japfa Comfeed Indonesia, Charoen Pokphand Indonesia, Malindo Feedmill, Wonokoyo Jayacorp, Sierad Produce, dan Mabar Group. Kita percaya masih ada langkah-langkah yang bisa mereka lakukan untuk mengefisienkan usaha.
Sesama peternak mandiri pun secara horisontal sebaiknya mengintegrasikan diri sehingga skala usaha mereka membesar. Dengan konsolidasi yang rapi, mereka akan mampu mempraktikkan integrasi vertikal layaknya perusahaan besar. Mereka juga bisa mengadopsi teknologi teranyar sehingga proses produksi dan pengolahan berjalan lebih efisien. Kualitas produk pun bisa lebih memenuhi standar industri.
Terakhir untuk kalangan masyarakat konsumen, pemerintah dan semua pemangku kepentingan sebaiknya menggelorakan kembali semangat “100% Cinta Indonesia” yang dirintis Kementerian Perdagangan dan Kementerian Negara Komunikasi dan Informasi pada 2009. Kampanye yang masif ini bertujuan untuk meningkatkan apresiasi dan kebanggaan menggunakan produk buatan Indonesia, semacam gerakan swadesi yang diciptakan Mahatma Gandhi di India.
Peni Sari Palupi