Menunggu Sentuhan Presiden
Legalitas kebun sawit menjadi masalah yang sangat berlarut-larut. Data yang dilansir Daniel Johan, Wakil Ketua Komisi IV DPR, dalam suatu diskusi RUU Perkelapasawitan cukup bikin miris. Kata dia, ada 5 juta ha hingga 10 juta ha kebun sawit ilegal, artinya berada dalam kawasan hutan.
Pada kesempatan lain, Bambang, Dirjen Perkebunan, Kementan menyatakan, 1,7 juta ha kebun sawit rakyat juga berada di kawasan hutan. Sementara Sofyan Djalil, Meneg Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional menyebut, 2,7 juta ha kebun korporasi di kawasan terlarang. Masalahnya, kawasan hutan di banyak daerah tidak well-defined, menurut istilah Sofyan.
Sementara Eddy Martono dari Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) mengatakan, di Kalimantan Tengah terjadi kasus seperti itu lantaran ada perubahan peraturan daerah. Luas area penggunaan lain (APL) berdasarkan Perda No. 8/2003 yang sekitar 37% mengecil menjadi hanya 17% berdasarkan Perda 15/2015. Jadi, wajar bila sebagian yang tadinya legal karena berada di APL menjadi ilegal lantaran APL menciut.
Berstatus ilegal tentu bikin sang pemilik kebun tersandera. Kebunnya mau dikelolanya secara baik, jangan-jangan nanti diambil pemerintah. Sebaliknya kalau tidak dikelola dengan baik, produktivitas kebun bakal minim. Penyelesaian atas masalah ini yang sifatnya saling menguntungkan sangat ditunggu. Di sisi pemerintah, pendapatan dari pajak bumi dan bangunan serta pajak hak guna usaha bisa masuk, dan di sisi pelaku usaha mereka mendapatkan kepastian hukum atas status lahannya.
Permasalahan tersebut melibatkan lintas kementerian, yaitu Pertanian, Kehutanan dan Lingkungan Hidup, Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional, Dalam Negeri, dan Kementerian Koordinasi bidang Perekonomian. Koordinasi antarinstitusi itu belum menghasilkan sesuatu yang signifikan sehingga pelaku usaha berharap Presiden Jokowi menyentuh komoditas agribisnis primadona ini.
Dan memang hari-hari ini mereka dan kita semua menunggu keluarnya peraturan presiden yang akan menyelesaikan masalah sengketa lahan. Apakah nanti ada amnesti lahan (land amnesty) untuk kebun-kebun rakyat yang berada di kawasan hutan? Bagaimana pula dengan kebun korporasi yang menjadi korban perubahan APL? Nah, kita semua berharap sentuhan Presiden dapat menuntaskan perkara ini tanpa menyebabkan kerugian yang besar bagi pelaku usaha dan lingkungan.
Tidak hanya sawit, lagi-lagi kita berharap Presiden juga memberikan perhatian lebih terhadap industri peternakan. Pelaku usaha peternakan sapi sudah mulai resah dengan kehadiran daging kerbau beku dari India. Perlahan tapi pasti daging yang memang digelontor ke pasar untuk memberikan pilihan kepada masyarakat kalangan dengan daya beli kurang kuat ini merangsek pasar ternak hidup. Dari Jember dan Yogyakarta terdengar harga sapi hidup melemah. Di kawasan Jabotabek yang terimbas langsung, pemotong sapi mengurangi pembelian jumlah sapi hidup dari peternak karena berjualan daging kerbau beku impor.
Peternakan unggas pun dihempas suasana bisnis yang tidak nyaman. Harga pasaran telur dan broiler melemah bahkan hingga di bawah harga pokok produksi selama berbulan-bulan. Sampai-sampai ada istilah “ayam makan ayam”, artinya menjual ayam untuk membeli pakan buat memberi makan ayam yang lain. Peternak petelur dan broiler berdemo kembali meminta perhatian Presiden Jokowi karena menganggap kementerian terkait belum mampu memberikan solusi yang jitu.
Ketika pelaku peternakan unggas di dalam negeri tengah kisruh dengan sesama pelaku, produk luar negeri sudah di ambang pintu masuk kita. Bisa dikatakan, kecil peluang kita bisa “menolak” produk impor tersebut karena Indonesia bisa saja kalah dalam sengketa di ranah WTO. Mestinya kita segera berbenah diri sehingga produk impor tidak masuk karena daya saing produk kita kuat sehingga memang secara bisnis tidak menguntungkan bagi mereka, bukan karena trik dagang yang mengulur waktu dan melindungi produk lokal sementara saja.
Peni Sari Palupi