Ketua Umum Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) Syarkawi Rauf bicara blak-blakan di hadapan segenap pelaku perunggasan nasional pada acara Indonesia Poultry Club belum lama ini di Bogor. Ia memaparkan dua opsi solusi untuk membenahi kian memuncaknya masalah bisnis perunggasan nasional akhir-akhir ini.
Pertama, peternak unggas mandiri yang jumlahnya disinyalir tinggal 3% dari total peternak unggas nasional disarankan ikut bermitra dengan perusahaan integrator perunggasan. Namun kemitraan harus yang berkeadilan dan menguntungkan kedua belah pihak. Sebagai penyeimbang integrator, pria yang sangat concern ikut membenahi masalah perunggasan ini juga mengusulkan pemerintah mendirikan BUMN perunggasan untuk memproduksi DOC (bibit ayam umur sehari) dan pakan.
Opsi kedua, pengelolaan onfarm kembali mengacu Undang-Undang (UU) No. 6/1967 tentang pokok kehewanan yang salah satu pasalnya menyinggung tentang keberadaan peran peternakan rakyat. Sontak opsi kedua ini mendapat dukungan meriah dari para peternak mandiri. Namun perlu waktu untuk merevisi UU peternakan yang berlaku saat ini.
Gejolak sektor perunggasan sampai awal tahun ini masih cukup pelik. Mulai dari masalah DOC, pemeliharaan, hingga harga penjualan di pasar selalu datang silih berganti. Peternak pun gerah. Sebenarnya untuk mengatasi permasalahan tersebut, Kementerian Pertanian telah menerbitkan Permentan No. 61/2016 tentang penyediaan, peredaran, dan pengawasan ayam ras yang merupakan revisi dari Permentan No. 26/2016 tentang penyediaan, peredaran, dan pengawasan ayam ras. Apa yang diatur direvisi Permentan No. 26/2016 akan dikecualikan dari UU No. 5/1999 tentang larangan praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat.
Faktanya, penerbitan Permentan tersebut tidak mampu meredakan permasalahan perunggasaan saat ini. Akhir Februari lalu, puluhan peternak yang tergabung dalam Gerakan Bela Peternak Ayam Pedaging dan Petelur (GBPA) menyambangi Kementerian Perdagangan (Kemendag) untuk menuntut perbaikan harga di tingkat peternak.
Kadma Wijaya, Ketua GBPA menyatakan, harga ayam murah sudah berulang sejak 2014, hanya saja ada korelasi saat harga DOC turun, harga ayam pun mengikuti. Namun, yang dialami saat ini, harga ayam turun, tapi harga DOC tetap tinggi.
Selain itu, terjadi disparitas harga sangat jauh antara di kandang dan di pasar. Di kandang, harga ayam hidup jatuh sampai ke level Rp11 ribu per kg, sementara di pasar harga karkas ayam dijual dengan harga Rp30 ribu - 34 ribu per kg. Begitu pun dengan harga telur yang terjun di angka Rp13 ribu per kg.
Kedatangan peternak ayam untuk menindaklanjuti pertemuan sebelumnya dengan perusahaan integrator, asosiasi unggas, KPPU, dan Menteri Pertanian di Kementerian Pertanian pada 13 Februari lalu. Peternak meminta agar pemerintah merevisi Permendag No. 63/2016 karena tidak mencantumkan ayam dan telur sebagai barang pokok. Padahal dalam prosedur penyusunannya, harga acuan untuk harga ayam dan telur menjadi perhatian.
Sementara soal putusan World Trade Organization (WTO) terkait hortikultura, menurut Erwidodo Duta Besar Indonesia untuk WTO 2008 - 2012, Indonesia sudah mengajukan banding pada 17 Februari 2017. Namun Erwidodo mengakui kesempatan untuk menang sangat kecil. Ia menyarankan, lebih baik menerima keputusan panel dan merevisi kebijakan.
Industri perunggasan di Indonesia mestinya harus peduli dengan DS484, yaitu keluhan Brasil atas kebijakan Indonesia mengenai impor daging ayam dan produk ayam. Ada 19 pihak ketiga dalam sengketa ini, termasuk Amerika Serikat, Tiongkok, Vietnam, India, dan Thailand.
Peternak mandiri sepertinya tidak peduli dengan adanya masalah WTO ini. Mereka menilai apa yang ditakuti dengan adanya impor ayam masuk Indonesia. Kalau hanya harga jatuh, saat ini saja peternak juga sudah lama merasakan harga ayam dan telur di bawah HPP. Kini semrawutnya masalah perunggasan ini perlu segera dicarikan titik temunya supaya semua pelaku perunggasan bisa berada pada satu pihak melawan pesaing dari luar negeri.
Pandu Meilaka