Menjelang akhir 2016 ini kabar tidak sedap berembus dari Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP). Pada akhir September lalu Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti melayangkan surat ke Menteri Keuangan perihal penyediaan anggaran untuk penyuluh perikanan sebagai tindak lanjut dari dikeluarkannya Undang-Undang (UU) Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
Inti surat tersebut, pada 2017 KKP tidak merencanakan penyediaan anggaran bagi sekitar 3.200 penyuluh perikanan Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang seyogyanya berdasarkan UU Nomor 23 tahun 2014 statusnya diserahkan ke pemerintah pusat. Dalam surat itu juga diusulkan agar dukungan anggaran bagi penyuluh perikanan masih ditanggung pemerintah daerah sampai aturan pelaksana dari UU ini dibuat.
Munculnya surat ini memicu kegamangan di komunitas penyuluh perikanan. Betapa tidak, kian tidak jelas siapa yang seharusnya mengayomi mereka. Kondisi seperti ini merupakan bentuk dari ketidaksiapan pemerintah pusat (KKP) untuk melaksanakan UU Nomor 23 tahun 2014.
Memang jika dirunut dari awal, hadirnya UU tersebut berlawanan dengan amanat UU nomor 16 tahun 2006 tentang sistem penyuluhan pertanian, perikanan, dan kehutanan yang menyebut secara tanggung jawab dan kelembagaan, posisi penyuluh ada di pemerintah daerah.
Kebijakan terkait penyuluh perikanan ini seperti tak tentu arah. Sederet pertanyaan masih menanti jawaban dan solusinya. Yang pertama, sebenarnya yang diinginkan pemerintah pusat seperti apa? Setelah penyuluh dikembalikan ke pusat, apa masih tetap dipekerjakan di daerah? Apa masih ingin membina dengan daerah, atau semua hal terkait penyuluhan sepenuhnya diserahkan ke pusat?
Ditariknya penyuluhan perikanan dari daerah ke pusat menimbulkan berbagai konsekuensi muncul. Pertama, sesuai tugas pokok dan fungsinya (tupoksi) penyuluh harus bekerja di lingkungan petani, di lingkungan nelayan, pembudidaya, jadi harus ada di daerah, harus ada di desa, harus ada di kecamatan, harus ada di kabupaten. Kedua, dengan tupoksi seperti itu, implikasinya pusat harus membangun kelembagaan penyuluhan.
Dalam kaitan aspek kelembagaan itu, keinginan daerah ternyata juga variatif. Yang terbanyak, daerah minta semuanya dibangun oleh pusat. Hitungan Komisi Penyuluhan Perikanan Nasional, begitu penyuluh diserahkan dari daerah ke pusat, KKP harus menyediakan gaji, tunjangan fungsional dan tunjangan kinerja dari lebih dari 3.200 orang penyuluh. Untuk gaji saja setahun sekitar Rp365 miliar. Belum lagi fasilitas penyuluhan, hingga kegiatan penyuluhan, apakah KKP mampu?
Arahnya Ke mana?
Sejak diberlakukannya UU 32/2004, yang menyerahkan kewenangan penyelenggaran penyuluhan kepada daerah, nasib penyuluh perikanan sangat tragis. Banyak daerah melakukan berbagai perubahan sporadis pada struktur organisasi penyuluhan. Ada opini liar yang menyudutkan penyuluh dengan dalih kegiatan penyuluhan tidak memberi nilai tambah bagi keuangan daerah.
Tak dapat dimungkiri, penyuluh perikanan di seluruh Indonesia sangat berharap implementasi aturan yang baru akan menjadi momentum perbaikan pada penyelenggaraan penyuluhan perikanan nasional. Baik itu dari sisi kelembagaan; ketenagaan; pembiayaan; metode penyuluhan; sarana dan prasarana; maupun pembinaan dan pengawasannya.
Peran penyuluh ini sangat sentral karena mereka menjadi pilar ekonomi masyarakat akar rumput. Para penyuluh yang juga menjadi kepanjangan tangan pemerintah hadir di tengah masyarakat, mengumpulkan, dan menyatukan masyarakat perikanan. Membentuk kelompok untuk berusaha bersama mengelola sumber daya kelautan dan perikanan yang ada. Membuka, menjaring, hingga memperluas segala akses yang dibutuhkan para pelaku utama dan pelaku usaha perikanan. Hingga akhirnya kelompok masyarakat perikanan bisa maju dan mandiri.
Bola panas kini berada di tangan KKP. Para penyuluh perikanan PNS di seluruh Indonesia membutuhkan kepastian di mana mereka akan ditempatkan, bagaimana dukungan anggaran untuk kegiatan penyuluhannya, bagaimana indikator capaian kinerjanya, serta bagaimana mekanisme pembinaan dan pengawasannya.
Pandu Meilaka