Dalam tahun-tahun terakhir, pemerintah gencar memberikan bantuan kepada petani. Tak hanya pupuk, tetapi juga benih, alat, dan mesin pertanian (Alsintan). Tujuannya tentu saja baik, yaitu untuk meningkatkan produksi pangan hingga akhirnya mencapai swasembada pangan dan memperbaiki kesejahteraan petani.
Langkah pemerintah ini wajar saja karena di negara-negara maju sekalipun pertanian tetap mendapat subsidi besar. Bahkan dibandingkan negara maju, subsidi yang diberikan pemerintah kita masih jauh lebih kecil.
Namun, kita tentu tidak ingin bantuan tersebut menimbulkan ketergantungan kronis di kalangan petani. Jangan sampai pernyataan salah seorang pelaku usaha bahwa dengan program bantuan, pemerintah menciptakan petani spesialis penerima bantuan, menjadi kenyataan massal, bukan lagi oknum. Petani juga jangan asal diberikan bantuan tanpa pendampingan penyuluh.
Dan jangan sampai pula program tersebut mendatangkan “penyakit” (moral hazard), petani yang menerima bantuan malah memperjualbelikan produk bantuan pemerintah karena bantuan itu tidak tepat sasaran atau tidak sesuai kebutuhan petani. Diberi bantuan benih jagung malah dijual setengah harga. Diberi bantuan benih jagung hibrida, jatuhnya ke orang-orang itu saja. Padahal secara konsep, seharusnya bantuan benih tersebut diberikan kepada petani di wilayah yang belum menanam benih hibrida dengan harapan ada perluasan penanaman benih hibrida sehingga menghasilkan peningkatan produktivitas dan produksi nasional yang signifikan.
Lantas bagaimana sebaiknya? Bila tetap berbentuk sarana produksi seperti sekarang, pemerintah sebaiknya meningkatkan pengawasan di lapangan agar bantuan tepat sasaran, tidak diselewengkan, dan bergulir ke kelompok tani yang tidak “itu-itu” saja.
Dinas Pertanian setempat harus diyakinkan agar mau memeratakan bantuan. Supaya budidaya berjalan dengan baik dan menghasilkan hasil yang tinggi, dinas sebaiknya meminta dukungan teknis dari produsen pemasok benih. Minta mereka mengawal petani supaya bertanam sesuai rekomendasi teknis.
Kini ada kebijakan Harga Pembelian Pemerintah (HPP) seperti halnya padi dan beras untuk jagung lokal berkadar air 15% sebesar Rp3.150/kg. Bila harga kurang dari itu, Bulog wajib menyerap hasil panen petani.
Nah di sini peran Bulog dengan segala fasilitas pascapanen dan penyimpanan di berbagai sentra produksi jagung sangat penting. Ketika panen raya, Bulog membeli jagung petani dan menyimpannya, lantas melepas stoknya begitu harga membaik.
Satu catatan terkait HPP jagung, barangkali perlu juga ditetapkan harga batas atas (ceiling price) karena di seberang petani jagung ada peternak unggas dan industri pakan ternak. Petani dan peternak sama-sama berperan penting dalam penyediaan pangan nasional. Bila harga hanya berpihak kepada petani sehingga tidak terjangkau bagi peternak, tentu tidak baik juga akibatnya.
Jagung mengambil porsi sampai 50% lebih dalam ransum pakan ternak unggas. Jadi, tinggi rendahnya harga jagung sangat mempengaruhi biaya produksi unggas pedaging dan petelur. Di kalangan industri pakan, kepastian suplai jagung nasional dengan kualitas dan harga yang “ramah” juga sangat didambakan. Tambahan lagi, tahun depan pemerintah bertekad tidak lagi impor jagung.
Sebelum tahun berganti, tiga bulan terakhir, biasanya pasokan jagung dari produksi lokal berkurang banyak. Pasalnya, petani lebih banyak menanam padi pada lahannya yang menerima curah hujan cukup saat musim penghujan. Apalagi dalam kondisi iklim lemaru basah seperti saat ini, pasokan jagung bergantung pada lahan-lahan tadah hujan.
Bila kondisi ini tidak diantisipasi dengan baik, bukan tak mungkin para peternak khususnya peternak ayam petelur mengalami kembali kelangkaan jagung sehingga harganya tidak masuk akal bagi mereka.
Sementara pabrik pakan bergantung sepenuhnya kepada Bulog karena perusahaan pelat merah inilah yang ditugaskan mengimpor jagung bila terjadi kekurangan. Memang mereka bisa saja mencari alternatif pengganti jagung, tapi sejauh ini bahan baku alternatif juga komoditas impor. Jadi, kita berharap produksi lokal melimpah dan ada sarana pascapanen yang memadai di sentra-sentra produksi.
Peni Sari Palupi