Makanan berbahan baku ayam sudah menjadi produk yang biasa dikonsumsi masyarakat. Salah satu indikasinya hampir di setiap tempat makan menu ayam tidak pernah ketinggalan. Belum lagi kian menjamurnya gerai ayam goreng tepung di berbagai daerah.
Produk ayam bukan lagi termasuk makanan mewah seperti daging sapi. Baik di pasar tradisional maupun pasar swalayan, produk ayam mudah ditemukan dengan harga relatif terjangkau dibandingkan sumber protein hewani lainnya. Kondisi ini cermin dari kondisi perunggasan nasional yang terbilang sudah swasembada.
Data Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan, Kementerian Pertanian menunjukkan, pada 2015 populasi ayam ras potong sebanyak 1.497.626.000 ekor setara 1.627.100 ton daging. Produksi ayam potong nyatanya bukan menjadi tantangan, lain halnya dengan keseimbangan suplai dan permintaan pasarnya yang masih bermasalah. Budaya masyarakat yang masih dominan membeli ayam segar langsung dipotong di pasar menjadi salah satu pemicu ketidakseimbangan pasar ayam.
Budaya ini mendorong produksi ayam dipasarkan dalam bentuk hidup. Saat produksi melimpah, harga ayam di tingkat peternak anjlok. Padahal harga di pasar relatif stabil, itu juga karena ada kendala rantai perdagangan yang terlalu panjang. Kedua permasalahan tersebut sebenarnya bisa dijawab dengan menggiring budaya atau kebiasaan masyarakat untuk mengonsumsi daging ayam beku.
Sejak beberapa tahun belakangan pemerintah bersama pelaku industri perunggasan mulai mengkampanyekan ayam ASUH (Aman Sehat Utuh dan Halal). Kampanye ini diikuti munculnya sejumlah produk ayam beku dan olahan yang kian membanjiri pasaran. Perlahan namun pasti kecenderungan masyarakat untuk membeli dan mengonsumsi ayam beku mulai meningkat.
Masyarakat perlu diedukasi secara terus menerus dan rutin terkait keunggulan daging ayam beku maupun olahan. Ayam yang dipotong di Rumah Potong Unggas (RPU) yang sudah menerapkan standar ASUH lebih sehat dan higienis. Produk yang dihasilkan juga bisa lebih bervariasi mulai dari bentuk utuh maupun sudah dipotong beberapa bagian.
Sayangnya sebagian besar pemotongan unggas di Indonesia dilakukan di Tempat Pemotongan Unggas (TPU) dengan skala usaha kecil atau skala usaha rumah tangga yang dikelola masyarakat. Pada umumnya berlokasi di tempat yang tidak direkomendasikan, yaitu pemukiman padat penduduk, pasar tradisional, dan tempat penampungan unggas. TPU-TPU tersebut banyak yang tidak menerapkan praktik higienis karena terbatasnya sarana dan fasilitas pemotongan unggas yang memenuhi persyaratan.
Sudah menjadi tugas pemerintah untuk membenahi kondisi tersebut. Saat kebiasaan konsumen mulai bergeser, sarana RPU pun harus ditingkatkan levelnya. Pelaku pemasaran ayam perlu diarahkan untuk menggunakan atau membangun fasilitas RPU dengan standar ASUH yang sudah tersertifikasi Nomor Kontrol Veteriner (NKV).
NKV merupakan sertifikat atau bukti tertulis yang sah telah dipenuhinya persyaratan higien dan sanitasi sebagai jaminan keamanan produk hewan pada unit usaha produk hewan. Sejauh ini baru ada 63 RPU yang mengantongi sertifikat NKV dengan kapasitas produksi berbeda-beda. Jumlah ini tentunya masih jauh dibandingkan dengan jumlah ayam yang diproduksi.
Selain kampanye ke konsumen, ajakan untuk mengembangkan bisnis RPU juga disosialisasikan kepada para pelaku produksi unggas. Para pelaku perunggasan nasional yang sudah mapan disarankan untuk mulai mengembangkan bisnis RPU. Hal ini karena kehadiran RPU dapat memotong mata rantai perdagangan produk unggas yang saat ini terlalu panjang. Dengan memiliki RPU ayam yang dihasilkan lebih higienis dan harga jual lebih baik karena bisa memangkas mata rantai pemasaran.
Ditambah lagi permintaan ekspor produk olahan ayam kini sudah terbuka. Jepang dan negara di Timur Tengah sudah serius menyatakan keinginannya mengimpor produk ayam dari Indonesia. Standar yang ditentukan pun sudah mampu dipenuhi pelaku ekspor. Hanya saja belum ada kesepakatan soal harga jual. Meski demikian hal ini menjadi indikasi positif perluasan pasar unggas nasional.
Pandu Meilaka