Ramadan dan Lebaran tahun ini sepertinya bukan musim panen yang diharap-harapkan para peternak sapi. Hari besar keagamaan umat Islam ini biasanya dilimpahi berkah dengan melonjaknya permintaan masyarakat akan daging sapi dua hingga tiga kali lipat diikuti kenaikan harga jual sehingga kocek para peternak pun cukup tebal. Namun tahun ini tidak terjadi. Peternak sapi potong terpaksa gigit jari lantaran stok yang disiapkan ternyata banyak tersisa.
Sarjono, Ketua Kelompok Peternak Limosin di Desa Astomulyo, Kecamatan Punggur, Kabupaten Lampung Tengah menggambarkan kondisi itu. Ramadan kali ini ia menyiapkan 60 ekor untuk mengantisipasi permintaan pasar. Biasanya Ramadan berjalan dua minggu, stok sapi yang disediakannya habis.
Saat ditemui pertengahan Juni lalu, dia mengungkap pedagang tidak banyak membeli sapi lantaran berharap harga akan turun lagi. Sebelum Ramadan harga bertengger pada Rp45 ribuan per kilo bobot hidup, dua minggu kemudian harga malah turun Rp2.500 per kg sebagai dampak gelontoran daging beku impor ke pasar.
Ia menampik pandangan tetap tingginya harga daging sapi segar gara-gara tidak ada stok atau peternak menahan sapi. “Jika sapi sudah cukup umur tidak dijual, maka kita justru rugi menanggung pakannya, sementara berat badannya sudah tidak bertambah lagi. Lalu ngapain kita menanggung rugi,”sergah peternak yang bersama kelompoknya mempersiapkan stok sebanyak 300 ekor lebih ini.Daging beku memang kurang diminati konsumen jelang Hari Idul Fitri sehingga harga daging segar stabil tinggi. Setidaknya itu pengalaman kita tiga tahun silam.
Sebenarnya kebijakan untuk menjinakkan melangitnya harga daging sapi segar dengan gelontoran impor daging beku sudah pernah dilakukan pada 2013. AGRINA pernah pula menulisnya dengan panjang lebar pada edisi 207, Juli 2013.
Waktu itu pemerintah melalui Menteri Perdagangan Gita Wiryawan memutuskan harga jual daging impor sebesar Rp76 ribu/kg. Harga itu dinilai tidak layak karena itu merupakan harga dagingtahun sebelumnya. Saat itu daging beku yang didatangkan oleh perusahaan pelat merah juga mendapat sambutan dingin dari konsumen alias tidak laku. Terbukti harga daging segar tetap bergeming tinggi sekitar Rp90 ribuan/kg. Memang, jumlah daging beku impor yang dibanjirkan ke pasar tidak sebanyak sekarang.
Kita tentu berharap kasus meruginya peternak akibat kebijakan pemerintah yang tidak bijaksana terjadi lagi.Dan kita masih berharap, impor daging beku hanya dilakukan pemerintah sebagai solusi jangka pendek, dan pemerintah lebih memprioritaskan impor sapi bakalan serta indukan sebagai solusi selama populasi sapi di dalam negeri belum mampu mencukupi kebutuhan.
Memperbesar impor daging beku hanya menebalkan kocek peternak asing karena tidak memberikan nilai tambah di dalam negeri. Berbeda dengan impor dalam bentuk sapi bakalan, masih ada nilai tambah yang besar selama proses penggemukan di kandang. Mulai dari penggunaan limbah pertanian untuk pakan yang nilainya hampir Rp2 triliun bila jumlah impor sapi bakalan sebanyak 700 ribu ekor setahun. Belum lagi tersedianya “periuk nasi” bagi para pelaku yang terlibat dalam pemotongan sapi.
Banyak solusi yang ditawarkan oleh para pelaku usaha dan pakar peternakan. Mulai dari penegakan hukum atas pelanggaran aturan pemotongan betina produktif;pemberian insentif untuk peternak agar mau memelihara sapi indukan;mengembangkan model usaha pembiakan yang efisien dan berkelanjutan; impor indukan dalam jumlah besar dan layak dilihat dari jenis bibit, kemampuan adaptasi dan penanganannya serta risiko penyakit. Masih ada lagi pekerjaan rumah kronis yang perlu diselesaikan seperti logistik distribusi juga pembiayaan yang murah agar para pelaku usaha lebih bergairah mengembangkan populasi lokal.
Semua itu membutuhkan waktu yang panjang. Tidak ada jalan pintas untuk menuju swasembada daging sapi, tetapi harus ada terobosan yang komprehensif, terukur, dan konsisten.
Peni Sari Palupi