Ego Kementerian Rugikan Produsen dan Konsumen “Lonjakan harga pangan terutama biji-bijian, sayuran, daging, dan telur sering berulang sehingga saat ada masalah semua ribut dan saat masalahnya reda semua diam tanpa upaya mencari penyebab utamanya. Sebaiknya pemerintah mencari akar masalahnya untuk melahirkan solusi jangka panjang,” ungkap Prof. Dr. Ir. Bungaran Saragih, M.Ec., Menteri Pertanian periode 2000 – 2004, saat diwawancara AGRINA. Siapa yang dirugikan dengan kondisi itu? Belakangan ini kita sering melihat berita atau debat di media mengenai tidak nyambungnya usaha produksi, distribusi, dan konsumsi pangan. Harga-harga sering melonjak seperti daging sapi, jagung, cabai, bawang merah, daging ayam, dan telur. Konsumen berteriak karena kenaikan harga, para produsen pun berteriak karena tidak menikmati kenaikan harga itu. Sementara para pejabat di tingkat nasional saling menyalahkan dan saling lepas tanggung jawab, cuci tangan terhadap berita buruk dan bertepuk dada dengan berita baik sesaat. Keadaan seperti ini akan melemahkan usaha jangka panjang untuk menciptakan ketahanan pangan dan kedaulatan pangan di negara kita. Tidak mungkin ketahanan pangan dan kedaulatan pangan bisa tercapai apabila konsumen dan produsen pangan selalu dihadapkan pada ketidakpastian dan kerugian yang sering terjadi. Produsen kita pun kesulitan membuat perencanaan jangka panjang. Kenapa itu terjadi dan berulang? Pertama, semakin dilupakannya paradigma sistem agribisnis, baik di level pemerintah, dunia usaha, petani, maupun konsumen. Mereka hanya berpikir parsial untuk kepentingannya, dan visinya hanya jangka pendek sehingga segala sesuatunya diselesaikan dengan cara hit and run. Jadi, masalahnya ada pada paradigma sistem, paradigma intersektoral, dan paradigma jangka panjang yang lemah di pemerintah dan dunia usaha. Kedua, sekarang ketahanan pangan hanya menjadi kerjaan pemerintah dengan bujet yang terus membesar sehingga inisiatif, kreativitas, dan bujet dari masyarakat menurun karena mereka hanya menunggu program pemerintah. Pemerintah mengambil alih pembangunan seperti konsep masa Orde Baru yang banyak kelemahannya. Contoh, memberi tugas terlalu banyak pada Perum Bulog sehingga merusak sistem yang sudah ada. Misalnya, menyerahkan importasi jagung yang sudah berlangsung dengan baik oleh pabrik pakan selama ini kepada Bulog. Ini hanya menambah panjang rantai distribusi. Ketiga, infrastruktur di pedesaan untuk pertanian sangat jelek. Kita tidak semata-mata membutuhkan infrastruktur berupa pelabuhan laut yang dibangun dengan bujet besar tapi juga infrastruktur berupa jalan produksi yang belum disentuh pemerintah secara komprehensif. Jalan produksi ini menghubungkan antara produsen dan konsumen. Jika infrastruktur di daerah produksi, seperti jalan, gudang, dan cold storage yang secara sadar diarahkan untuk ketahanan pangan dan kedaulatan pangan tidak dibenahi, maka gejolak seperti sekarang ini akan terus berulang. Bagaimana solusinya? Pertama, mereformasi sistem usaha tani berskala gurem dan tidak efisien yang tidak berdaya saing ke sistem usaha tani yang lebih modern, efisien, berdaya saing, terkoneksi antara produsen dan konsumen. Untuk itu perlu segera dilakukan distribusi teknologi dan keahlian. Dengan demikian kita punya harapan bisa memperkaya petani sekaligus menolong konsumen mendapatkan pangan sebagai wujud ketahanan pangan. Kedua, perintah UU Pangan yang baru untuk membentuk Badan Ketahanan Pangan Nasional (BKPN) harus segera diwujudkan agar kerjasama antarlembaga bisa lebih baik. BKPN sebaiknya dikepalai seseorang yang mengerti masalah pangan di Indonesia dan relatif senior agar mampu menjadi dirijen untuk mengorkestra semua kementerian terkait pangan, seperti Kementerian Pertanian, Kementerian Perdagangan, Kementerian Perindustrian, Kementerian Pekerjaan Umum, Kementerian BUMN, dan Kementerian Kesehatan. Dan ketiga, sebaiknya hal-hal yang sudah baik dilakukan swasta tidak perlu diambil alih pemerintah karena kekhawatiran monopoli. Pemerintah cukup membuat regulasi yang mencegah swasta memonopoli. Untung Jaya