Benarkah Industri Sawit Merusak Lingkungan?
Dari sisi lingkungan, Indonesia, termasuk perkebunan kelapa sawitnya, bukanlah pengemisi gas rumah kaca yang terbesar dunia, sebagaimana sering dituduhkan banyak LSM. Bahkan penggunaan biodiesel minyak sawit sebagai pengganti diesel menurunkan emisi GHG sebesar 62%, ungkap Prof. Dr. Ir. Bungaran Saragih, M.Ec., Menteri Pertanian periode 2000 2004, saat diwawancara AGRINA.
Mengapa sering ada tuduhan demikian?
Mungkin disebabkan industri minyak sawit Indonesia mengalami akselerasi yang luar biasa. Bahkan kini perkebunan kelapa sawit telah berhasil membawa Indonesia menjadi produsen minyak sawit terbesar dunia dan salah satu negara penting dalam minyak nabati dunia.
Berdasarkan data World Resource Institute (2010), emisi gas rumah kaca (CO2) terbesar adalah Tiongkok (22%), Amerika Serikat (13%), dan Uni Eropa (9%). Sedangkan emisi gas rumah kaca Indonesia relatif kecil hanya 4%. Bila dipilah berdasarkan sektor, emisi terbesar dari sektor industri (29%), sementara sektor pertanian hanya 7%.
Kalau sektor pertanian dilihat lebih rinci, penyumbang emisi terbesar adalah peternakan (50%), pemupukan (15%), dan padi (11%). Dengan demikian, di antara sektor pertanian, emisi dalam perkebunan kelapa sawit tidak besar sebagaimana sering dituduhkan terhadap komoditas sawit Indonesia.
Bagaimana peran sawit terhadap deforestasi?
Data kehutanan dunia menunjukkan luas hutan dunia sebelum kegiatan pertanian secara meluas adalah 4.628 juta ha, yang terdiri dari hutan tropis 1,277 juta ha (27,6%) dan hutan nontropis 3.351 juta ha (72,4%). Seiring pembukaan lahan untuk pertanian pada 1980, luas areal hutan menjadi 3.927 juta ha, terdiri dari hutan tropis 1.229 juta ha (31,3%) dan hutan nontropis 2.698 juta ha (68,7%). Dengan demikian, kegiatan deforestasi yang disebabkan oleh kegiatan pertanian mencapai 701 juta ha. Ternyata deforestasi hutan terbesar adalah nontropis (93,15%), sementara deforestasi hutan tropis hanya 6,85%.
Deforestasi dunia pada kurun waktu 1990-2008 yang paling besar adalah Amerika Selatan (33%), diikuti Afrika (31%), sementara deforestasi di Asia Tenggara hanya sebesar 19%. Kegiatan deforestasi tersebut disebabkan oleh kegiatan tanaman pertanian (31%) diikuti padang penggembalaan dan kebakaran hutan 17%.
Data FAO pada 2013 menjelaskan, porsi hutan di Indonesia lebih besar (52%) dibandingkan Amerika Serikat (33%). Sedangkan di Perancis, Jerman, dan Belanda sudah tidak memiliki hutan primer. Hal ini menunjukkan kondisi Indonesia relatif masih sangat baik jika dibandingkan negara-negara lainnya.
Berkaitan dengan pengembangan perkebunan kelapa sawit di Indonesia, kebutuhan lahan diperoleh dari konversi lahan pertanian lainnya dan hutan produksi, khususnya eks HPH, sesuai prosedur yang telah ditetapkan peraturan perundang-undangan di Indonesia. Hasil citra satelit menunjukkan, pemenuhan kebutuhan lahan perkebunan kelapa sawit dalam periode 1990-2012 berasal dari lahan telantar (43%), hutan produksi terdegradasi (27%), lahan pertanian (14%), HTI (13%), dan hutan produksi (3%).
Apakah emisi GHG biodiesel sawit lebih baik?
Ya. Penggunaan biodiesel minyak sawit sebagai pengganti diesel (fossil-fuel) juga menurunkan emisi gas rumah kaca atau green house gases (GHG) sebesar 62% dibandingkan diesel. Pengurangan emisi GHG tersebut lebih besar pada minyak sawit dibandingkan minyak nabati lainnya. Hal ini berarti semakin besar blending biodiesel minyak sawit dalam konsumsi diesel global, semakin berkurang emisi GHG global.
Sebagian besar produksi CPO Indonesia dipasok ke sejumlah dunia. Jika minyak sawit tersebut digunakan sebagai biodiesel untuk mensubsitusi fossil-fuel khususnya di negara-negara dengan konsumsi fossil-fuel tinggi seperti Uni Eropa, dan Amerika Serikat, akan mengurangi emisi CO2 global.
Jadi, perkebunan kelapa sawit adalah bagian dari upaya mengurangi peningkatan emisi CO2 global melalui dua cara. Pertama, menyerap CO2 hasil emisi masyarakat dunia dari atmosfer. Dan kedua, mengurangi emisi CO2 global melalui subsitusi diesel dengan palm oil diesel.
Untung Jaya