Memandang masalah secara parsial akan memberikan solusi secara parsial juga. Ibarat orang buta meraba gajah. Perabaan dari sisi depan tentu akan menghasilkan bayangan bentuk gajah yang berbeda dengan perabaan dari sisi tengah atau sisi lainnya.
Begitu pula persoalan di bidang agribisnis, dalam hal ini daging sapi. Kasus tahun lalu hiruk-pikuk daging sapi melahirkan ganjaran pahit bagi pelaku usaha penggemuk sapi berupa denda ratusan miliar dari Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU). Semua pelaku usaha penggemukan sapi di bawah Asosiasi Produsen Daging dan Feedlot Indonesia (Apfindo) yang berjumlah 32 perusahaan dituduh KPPU melakukan praktik kartel. Para tertuduh kartel ini dianggap menimbun sapi dan membuat harga daging sapi di tingkat konsumen melambung sampai Rp140 ribu/kg. Apa benar begitu? Mereka jelas tidak terima tuduhan itu dan memutuskan untuk banding.
Pemerintah tampaknya melihat persoalan itu tidak menyeluruh. Presiden minta lebaran tahun ini harga daging sapi tak lebih dari Rp80 ribu/kg. Padahal sumber protein hewani lain seperti ayam dan telur tersedia dalam jumlah yang dari cukup dan harganya terjangkau. Kenapa tidak gencar mengkampanyekan produk yang sudah swasembada tersebut?
Di satu sisi, benar langkah pemerintah mengimpor indukan yang direncanakan sebanyak 50 ribu ekor dan menyebarkannya ke seluruh Indonesia. Memang ada juga yang memandang jumlahnya terlalu banyak. Apalagi anggarannya juga tak main-main sekitar Rp1,3 triliun. Kabar terakhir bujet Kementerian Pertanian dipotong pada APBN-P sehingga jumlahnya dikurangi. Harapan pemerintah induk-induk ini akan menambah populasi.
Namun untuk memperoleh tambahan populasi dari induk-induk baru ini butuh waktu panjang. Rata-rata seekor induk memproduksi dua anak dalam tiga tahun. Terlalu lama untuk dapat mengimbangi laju konsumsi yang meningkat seiring bertambahnya jumlah masyarakat berkantong tebal.
Sebagai jalan keluar, pemerintah masih membuka pintu impor bagi sapi bakalan dan daging sapi beku. Langkah itu ternyata belum cukup, jalan pintas pun diambil tahun ini dengan membuka pintu impor daging kerbau dari India yang harganya “murah meriah”.
Pelaku industri olahan bisa memanfaatkan daging kerbau impor itu untuk membuat produk olahan semacam bakso. Saat daging sapi mahal, mereka sering menggantinya dengan jantung sapi atau malah daging ayam.
Padahal sudah bertahun-tahun lamanya pemerintah terdahulu tidak mengizinkan impor dari negara tidak bebas penyakit mulut dan kuku (PMK) mengingat potensi bahayanya. Penyakit ini cepat menular dan virusnya bisa terbawa angin, tapi tidak seketika menyebabkan kematian massal. Apakah sebelum mengambil keputusan tersebut sudah mempertimbangkan bahaya di balik impor daging yang berisiko mengandung virus PMK?
Bila sampai ikut terimpor virus ini tentunya membahayakan populasi ruminansia lokal. Tak hanya sapi tapi ternak berkuku genap lainnya, seperti kerbau, kambing, dan domba, juga bisa terancam. Dan itu untuk membela kepentingan konsumen yang partisipasi konsumsinya terhadap total sumber protein hewani hanya 16%.
Kita pernah menyaksikan mewabahnya PMK di Eropa lewat berbagai media dan sampai hari ini juga masih banyak negara belum bebas PMK. Mereka butuh jutaan dollar untuk mengatasi PMK. Itu pun tidak tuntas karena acapkali muncul kembali.
Berapa banyak anggaran yang akan dihabiskan negara kita untuk menanggulangi penyakit tersebut bila sampai pihak berwenang kebobolan dalam pengawasannya? Apalagi pintu masuk kita sangat banyak dan tidak semuanya terawasi dengan baik.
Pemerintah semestinya berpikir matang-matang sebelum ambil keputusan yang berisiko tinggi ini. Jangan hanya membela kepentingan sesaat tapi dampaknya bisa berkepanjangan. Semoga saja kebijakan yang lebih condong membela kepentingan konsumen itu tidak mendatangkan mudharat.
Kita berharap, impor daging kerbau yang murah tidak kebablasan sehingga mempengaruhi semangat peternak memelihara sapi. Jadi, semua dilihat secara menyeluruh dari kepentingan peternak, industri penggemukan sapi, industri pengolahan daging, konsumen, juga pemerintah sendiri.
Peni Sari Palupi