Pada akhir tahun lalu para pelaku perunggasan nasional khususnya para produsen pembibitan ayam duduk bersama pemerintah, bersepaham untuk mengatur suplai DOC (anak ayam). Kesepahaman ini dilakukan untuk meredah kegaduhan harga ayam hidup yang kala itu terjun bebas.
Pemerintah yang dimotori Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan pun ambil alih kendali dengan mengeluarkan surat keputusan terkait pengaturan pemotongan Parent Stock/PS (induk ayam) dalam beberapa tahapan. Keputusan ini tentunya sudah diketahui dan mendapat restu dari berbagai pihak terkait.
Pelaksanaan keputusan ini baru lewat tahap pertama, ternyata sudah digoyang. KPPU menilai keputusan pemotongan PS ayam menyalahi aturan persaingan usaha dan perlu ditinjau ulang. Salah satu alasannya pemotongan PS dapat berdampak pasokan ayam berkurang sehingga harga di level konsumen naik secara tidak wajar. Kegaduhan ini kian meruncing dengan melibatkan Bareskrim dalam proses penyidikan.
Benar-benar seperti benang kusut yang kian beruntal tidak karuan. Maksud hati pemerintah ingin membenahi karut-marutnya permasalahan perunggasan nasional, namun apa daya malah dinilai keliru mengambil keputusan.
Polemik perunggasan nasional ini pun akhirnya memasuki babak baru. Setelah memenuhi beberapa kali panggilan pemeriksaan pihak berwajib dan berkonsolidasi dengan pihak terkait lainnya, Kementerian Pertanian didesak untuk tetap melanjutkan upaya menata perunggasan. Langkah awalnya dengan penyusunan dan penandatanganan nota kesepahaman (MoU) bersama perusahaan perunggasan dan asosiasi peternak (21/3).
MoU ini ditandatangani tiga pihak. Pihak pertama, pemerintah yang diwakili Dirjen Peternakan dan Kesehatan Hewan. Pihak kedua, sejumlah perwakilan perusahaan pembibitan dan integrator perunggasan. Pihak ketiga, sejumlah asosiasi peternak ayam.
Penandatanganan MoU ini juga disaksikan oleh Kepolisian Republik Indonesia, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Kejaksaan Agung, dan perwakilan dari KPPU. Sayangnya KPPU dinilai bermain aman dengan tidak ikut tanda tangan dalam kesepakatan ini. Padahal KPPU sebagai pihak yang paham aturan mana saja dalam kesepakatan ini yang berbenturan dengan aturan persaingan usaha.
Jadi, kalau suatu saat timbul kegaduhan lagi, pihak KPPU tidak bisa dipersalahkan. Sementara pihak-pihak yang terlibat dalam kesepakatan ini bisa kembali jadi “pesakitan”. Bisa jadi janji yang ditulis dalam kesepakatan ini hanya tinggal janji. Hal kecil tapi penting seperti inilah yang kerap diabaikan dan membuat permsalahan perunggasan nasional selalu berputar seperti tanpa akhir solusi yang jelas.
Ruang lingkup nota kesepahaman ini adalah untuk mengupayakan pengembalian keseimbangan supply-demand daging ayam. Kedua, membahas keadilan dalam berusaha di budidaya ayam. Ketiga, pelaku integrasi vertikal wajib menyelesaikan integrasinya sampai dengan hilirisasi, dan peternak besar dengan skala tertentu wajib membangun rumah potong unggas.
Keempat, pengembangan sektor hilir dan ekspor bagi pelaku integrasi vertikal. Kelima, konsolidasi nasional usaha dan industri perunggasan melalui perbaikan di berbagai aspek hulu sampai dengan hilirnya. Keenam, moratorium pembangunan kandang tertutup bagi perusahaan besar dan afiliasinya yang melakukan pola kemitraan dan budidaya internal farm sampai dengan beroperasinya rumah potong ayam, blast freezer dan penampungan.
Dari enam poin kesepakatan itu akan diatur dalam Peraturan Menteri Pertanian (Permentan). Jadi, nantinya setiap butirnya akan ada permentannya. Nantinya Permentan akan segera diselesaikan secepatnya setelah penandatanganan nota kesepahaman tersebut.
Kesepakatan ini seyogyanya bertujuan agar peternak kecil mendapatkan keuntungan yang wajar, pengusaha perunggasan skala besar juga mendapatkan keuntungan, dan konsumen dapat mendapatkan produk unggas dengan harga yang wajar. Semoga saja langkah kebijakan dadakan ini bisa sesusai harapan semua pihak.
Peni Sari Palupi