Sejak belasan tahun silam industri perunggasan nasional selalu diramaikan oleh dikotomi pelaku usaha besar – kecil. Apalagi dalam situasi yang terjadi saat ini ketika harga ayam hidup anjlok jauh di bawah harga pokok produksi di tingkat peternak.
Peternak mandiri yang lebih senang disebut sebagai peternak rakyat dan mengaku berskala kecil terang-terangan menuding pelaku usaha berskala besar (integrator) menjadi penyebab “tsunami” harga ayam sampai jauh di bawah biaya produksi. Mereka meminta pemerintah memanggil para integator besar untuk ikut bertanggung jawab atas kemelut yang terjadi.
Padahal mereka tahu mengapa “tsunami” ini terjadi. Biang keroknya adalah kelebihan suplai bibit ayam umur sehari (day-old chick). Dan berlebihnya produksi bibit ayam tak lepas dari kurang ketatnya pemerintah dalam mengendalikan impor induk ayam pada tahun-tahun sebelumnya. Atau, bisa jadi basis data yang digunakan pemerintah untuk mengatur katup importasi bibit ayam nenek (Grand Parent Stock) dan induk (Parent Stock) tidak akurat.
Membanjirnya bibit ayam sebenarnya telah diprediksi dua tahun lalu. Dan kalangan perusahaan pembibitan bersama pemerintah, dalam hal ini Dirjen Peternakan dan Kesehatan Hewan, Kementerian Pertanian, memutuskan untuk mengafkir dini induk ayam PS sebanyak 6 juta ekor secara bertahap. Namun baru sampai 3 juta ekor akhir Desember lalu, langkah yang juga diusulkan peternak ini dihentikan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU). Walhasil, rem produksi bibit ayam kembali kendor.
Peternak pun terkena imbas parah. Harga ayam hidup di kandang meluncur terus hingga awal Februari mencapai titik nadir, Rp8.000 per kg di seputar wilayah Jabodetabek. Sementara biaya produksinya menyentuh angka Rp18.500 per kg.
Kalau harga itu dikonversikan ke karkas dengan mengalikannya 1,7, semestinya Rp13.600 per kg. Nyatanya konsumen tetap memperoleh harga cukup mahal, sekitar Rp30 ribu per kg. Disparitas harga yang sangat lebar ini kiranya dinikmati para pedagang perantara di rantai suplai dari kandang peternak menuju konsumen.
Sampai sekarang tidak ada langkah masif yang memperbaiki atau memperpendek rantai itu. Tak banyak peternak yang memotong rantai suplai untuk dapat menikmati margin lebih besar, misalnya dengan memotong ayam sendiri, lalu menjual ke konsumen langsung.
Contoh lain, mensinergikan bisnis budidaya dengan usaha kuliner. Jadi, ayam dari kandang, dipotong sendiri, lalu dipasok ke warung atau restoran milik peternak. Jadi, tatkala daya beli konsumen tergerogoti oleh pelemahan ekonomi nasional, harga pun turun. Dan yang paling besar terdampak tentu saja bagian paling hulu, yaitu peternak.
Kalau peternak secara individu tidak kuat menghadapi persaingan di pasar, ada langkah lain, yaitu bersama-sama koleganya membentuk usaha dengan skala lebih besar. Namun harus diakui di negeri ini tidak mudah menyatukan sejumlah peternak yang terbiasa mandiri untuk berkelompok membentuk koperasi misalnya.
Padahal di luar negeri koperasi agribisnis juga bisa meraih omzet sebesar para pengusaha terintegrasi karena dikelola secara modern dan profesional. Lihat saja Rabobank di Belanda atau Fonterra di Selandia Baru. Keduanya melanglang buana merambah konsumen di berbagai belahan dunia termasuk Indonesia. Omzetnya tak kalah dengan perusahaan-perusahaan raksasa di bidang agribisnis.
Nah, kenapa pula para peternak tidak bisa seperti itu? Memang, butuh waktu dan dukungan pemerintah juga keikhlasan meleburkan diri menjadi kekuatan baru. Pemerintah bisa mendukung dengan berbagai kebijakan yang tepat, termasuk penyediaan dana murah untuk permodalan.
Jadi, ke depan hanya ada kelompok-kelompok usaha besar yang bermain di negeri ini. Dengan skala yang besar, efisiensi yang menjadi tulang punggung daya saing di pasar global, menguat. Cukup kuat untuk bertahan dalam persaingan usaha di dalam negeri maupun melawan kekuatan dari luar negeri. Berlatihlah dengan menghadapi “musuh” dalam kancah ASEAN, lalu tantanglah lawan yang lebih berat di pasar lebih global. Mari dukung mereka agar tidak kecil terus.
Peni Sari Palupi