Kamis, 30 Juni 2016

Mau Bela Siapa?

Koordinasi masih menjadi sesuatu yang perlu diupayakan lebih serius lagi di negeri ini. Sampai saat ini masih terlihat betapa koordinasi di kalangan lembaga pemerintah belum rapi. Mari kita lihat persoalan pasokan jagung. Bahan baku utama pakan ternak, khususnya unggas, ini menjadi urusan paling tidak tiga kementerian, yaitu pertanian, perindustrian, dan perdagangan.

Ihwal pasokan jagung kini kian rumit. Di satu sisi, Kementerian Pertanian (Kementan) bertekad kuat meningkatkan produksi jagung dan memperbaiki kesejahteraan petaninya. Caranya dengan memasok sarana produksi kepada petani jagung berupa bantuan benih unggul, pupuk bersubsidi, dan alsintan. Selain itu, Kementan juga “menahan” impor jagung supaya tidak masuk dengan harapan harga jagung tetap menguntungkan bagi petani.

Kita tentu mengapresiasi tekad pemerintah untuk mengerek kesejahteraan petani sudah yang bertahun-tahun tak kunjung membaik. Saat ini petani yang panen jagung bisa dikatakan meraup “emas pipilan” lantaran harga sangat baik. Informasi dari Jawa Timur menyebut, harga di level petani minggu terakhir Januari lalu mencapai Rp5.000-an per kg dalam kondisi pipilan kering panen (kadar air 30%-35%). Tentu harga ini jelas bikin petani tersenyum lebar.

Namun, di seberangnya ada peternak dan industri ayam yang sengsara. Keduanya konsumen jagung yang berperan tak kalah penting sebagai produsen daging ayam dan telur. Sejauh ini produk unggas menjadi sumber protein hewani bagi masyarakat yang relatif terjangkau dibandingkan daging sapi. 

Sudah sejak Oktober tahun lalu, peternak dan industri pakan berteriak pasokan jagung seret. Sampai akhir Januari silam, teriakan dan keluh-kesah peternak ayam, khususnya peternak ayam petelur yang biasanya mencampur sendiri pakannya, masih terdengar. Bahkan keluhan mereka kian kencang lantaran pasokan jagung impor dari Bulog yang direncanakan sebanyak 600 ribu ton khusus untuk peternak dan pabrik pakan skala UMKM belum tiba.

Harga jagung untuk pakan ayam mereka makin lama, makin melambung. Masih bagus bila barang ada, begitu cetus mereka melalui kelompok perbincangan di media sosial. Sampai naskah ini diturunkan, harga bermain di kisaran Rp6.700 – Rp7.000 per kg, bahkan lebih. Bagi mereka, ini rekor termahal sepanjang sejarah. Bila mereka terpaksa menerima harga jagung ini, karena tidak ada pilihan lain kecuali mengafkir dini ayam mereka, maka harga telur pastilah terkerek.  Akibat lanjutannya konsumen yang ribut. Inflasi pun naik.

Seyogyanya dalam situasi seret pasokan akibat terlambat panen seperti ini, jagung impor dipersilakan masuk untuk menambal kekurangan pasokan lokal. Bukan berarti kita tidak mendukung petani jagung. Kalau ini dibiarkan berlanjut hingga menunggu panen besar Maret nanti, bukan tak mungkin banyak peternak gulung tikar, atau paling tidak mengafkir dini ayam mereka.

Produksi telur berkurang, siap-siap konsumen merogoh kocek lebih dalam atau membeli lebih sedikit. Dan tentu dampaknya berbalik lagi ke petani. Hasil panen petani berkurang pembeli lantaran peternak bangkrut. Apa itu yang kita mau?

Bukan itu yang kita kehendaki. Kita ingin petani jagung dan peternak ayam yang sama-sama di bawah tanggung jawab Kementan tersebut sama-sama sejahtera. Kita ingin petani bisa mendongkrak produktivitasnya dengan menerapkan standar berbudidaya jagung yang baik sehingga hasil panennya meningkat dan berkualitas baik. Walhasil, daya beli mereka meningkat, termasuk untuk membeli protein hewani seperti telur dan daging ayam guna meningkatkan kualitas kesehatan keluarganya.

Kita juga ingin peternak ayam memproduksi dengan efisien sehingga produknya terjangkau masyarakat konsumen dan berdaya saing terhadap produk negara tetangga ASEAN. Nah, supaya ada solusi yang saling menguntungkan, sebaiknya Kementan mempertemukan Kemendag, Kemenperin, petani jagung, peternak ayam, dan industri pakan. Dari situ pemerintah bisa mengeluarkan kebijakan yang lebih pas. Petani, peternak ayam, dan industri pakan pun senang.

Peni Sari Palupi

 

 

 

 
Agrina Update + Moment Update + Cetak Update +

Artikel Lain